DASAR-DASAR POKOK MARHAENISME
KAPITALISME, IMPERIALISME DAN KOLONIALISME
Marhaenisme
lahir sebagai suatu ajaran tentang ajaran asas dan cara perjuangan
Rakyat Indonesia ditengah-tengah dan dari masyarakat kolonial.
Feodalisme dan kolonialisme itulah sebab daripada penderitaan Rakyat
Indonesia.
Feodalisme
adalah suatu sistem tata masyarakat yang dikuasai oleh raja dan kaum
ningrat dimana Rakyat tidak mempunyai hak sama sekali tetapi hanya
dibebani kewajiban-kewajiban belaka.
Kolonialisme adalah bentuk daripada imperialisme dan imperialisme itu adalah kelanjutan dari kapitalisme.
Adapun
kapitalisme itu ialah suatu sistem tata masyarakat yang timbul dari
cara produksi barang-barang kebutuhan manusia yang memisahkan kaum buruh
pembuat barang-barang itu, dari alat-alat produksi. Artinya ialah bahwa
alat-alat produksi itu dimiliki oleh kaum modal, sedangkan kaum buruh
yang untuk penghidupannya hanya dapat menual tenaga kerjanya saja,
terpaksa menjual tenaga kerjanya itu kepada kaum modal, pemilik
alat-alat produksi.
Oleh
kaum modal didalam proses produksi itu hanya mengenal satu tujuan saja,
yaitu untung sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri, maka ia selalu
berusaha untuk memperbesar keuntungannya itu dengan menekan upah buruh
serendah-rendahnya. Dengan demikian kaum modal dapat menjual barang
hasil produksinya dengan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Yang
menyebabkan keuntungan menjadi besar bagi kaum modal itu ialah karena
didalam harga barang hasil produksinya termasuk juga harga tenaga kerja
buruh yang tidak dibayarkan pada kaum buruh tetapi masuk kantongnya kaum
modal. Kelebihan keuntungan yanng sebetulnya harus dibayarkan kepada
kaum buruh yang membuat barang itu, dinamakan “Mehwert” atau “nilai lebih”.
Maka
cara produksi yang demikian itu yang menyebabkan bertimbun-timbunnya
modal atau kapital, yaitu yang dinamakan akumulasi kapital. Akan tetapi
tidak berhenti disitu saja. Kaum modal yang sudah berhasil
menimbun-nimbun modal itu belum puas juga, kalau ia punya saingan belum
dimatikan.
Meskipun
didalam sistem kapitalisme persaingan bebas diakui dan dijunjung
tinggi, tetapi didalam praktek kapitalisme saingan bebas itu ditafsirkan
sebagai kebebasan untuk menyaingi lawannya demikian rupa sehingga ia
mati, atau sebagai kebebasan untuk menghimpun kaum modal beserta
modalnya didalam suatu konsentrasi atau sentralisasi kapital yang besar,
didalam bentuk kartel atau trust, sehingga persaingan antara kaum modal
itu tidak ada lagi.
Dengan
demikian kaum modal bersatu menjadi suatu monopoli yang makin lama
makin kearah kemelaratan. Inilah yang dinamakan teori “Verelendung” atau teori memelaratkan kaum buruh.
Akibat
daripada konsentrasi kapital yang menjadi monopoli itu, ialah
menghebatnya kemajuan industri. Kalau dahulu industri dijalankan secara
kecil-kecilan, maka sesudah adanya kartel atau trust, industri
dijalankan secara besar-besaran.
Apalagi
sesudah mesin uap dipergunakan untuk menggantikan mesin tangan. Tetapi
dengan meningkat hebatnya industri, maka menghebat pula kekejaman
kapitalisme. Pengaruhnya merajalela diseluruh tubuh masyarakat : bidang
ekonomi, bidang politik, bidang sosial, ya sampai kepada bidang keluarga pun cengkeraman pengaruh kapitalsme nampak dan dirasakan.
Demikianlah
dengan singkat perkembangan kapitalisme di jaman abad ke-19 dan ke-20,
yaitu di jaman moderen. Maka kapitalisme yang demikian itu dinamakan
kapitalisme moderen.
Kapitalisme
moderen itu berkembang terus, karena nafsu untuk mendapat keuntungan
sebesar-besarnya itu tidak dapat dipuaskan. Itulah sebabnya bahwa modal
yang telah terkonsentrasi atau tersentralisasi itu melebarkan sayapnya,
meninggalkan negeri tempat pertumbuhannya, menuju ke negeri-negeri yang
dianggapnya baik dan subur untuk memberikan keuntungan besar lagi kepada
kapitalisme itu.
Kapitalisme
yang telah “sangat matang” demikian itu kalau datang disuatu negeri
lain untuk menanam modalnya disana sudah barang tentu terus berusaha
untuk menyelamatkan maksudnya untuk memenuhi kehausan akan keuntungan
sebesar-besarnya itu dan dengan macam-macam bermuslihat untuk dapat
menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa atau negeri lain yang jadi
sasarannya sehingga modal yang ditanamnya itu dapat bekerja dan
berkembang dengan aman.
Maka
nafsu atau sistem imperialisme itu ialah kolonialisme, yaitu
imperialisme yang tidak saja menguasai ekonomi tapi juga politik dari
negeri lain.
Imperialisme yang tumbuh dari kapitalisme moderen itu ialah imperialisme moderen pula.
Didalam
bentuk kolonialisme maka imperialisme itu tidak saja menguasai atau
mempengaruhi tetapi ia juga merajai dan mengendalikan ekonomi dan
politik bangsa dan negeri lain.
Adapun
cara imperialisme untuk menguasai bangsa dan negeri lain itu tidak saja
dengan kekerasan senjata, tetapi sering dengan cara “halus-halusan”
atau menyeludup dengan damai (penetration pacifique).
Dapatlah
dimengerti bahwa tujuan imperialisme untuk merajai dan mengendalikan
ekonomi bangsa dan negeri lain itu dapat tercapai dengan mutlak kalau ia
juga menguasai bangsa dan negeri lain itu secara politis.
Demikianlah itulah yang terjadi kalau penguasaan imperialisme berbentuk kolonialisme.
Dari
uraian diatas ini dapat diambil kesimpulan bahwa imperialisme dan
kolonialisme itu adalah kelanjutan daripada kapitalisme, atau dengan
lain perkataan, imperialisme dan kolonialisme adalah anak kapitalisme.
Ciri daripada kapitalisme oleh karenanya melekat pada imperialisme dan
kolonialisme.
Ciri
yang pokok ialah mencari atau lebih tepat mengeduk rejeki atau
keuntungan sebesar-besarnya dengan menguasai dan menghisap bangsa dan
negeri lain.
Imperialisme
dan kolonialisme sebagai suatu sistem dijalankan oleh orang-orang dan
penghisapan itupun dijalankan oleh orang-orang atas orang-orang pula.
Maka
ciri yang paling jahat daripada sistem tersebut dan daripada sistem
kapitalisme ialah penghisapan oleh manusia atas manusia itu, atau dalam
bahasa asing: “I exploitation de l’homme par l’homme”.
IMPERIALISME DI INDONESIA
Indonesia
mulai dipengaruhi dan kemudian dikuasai oleh imperialisme Barat pada
umumnya mulai pada permulaan abad ke-18 dan oleh imperialisme Belanda
khususnya pada permulaan abad ke-17.
Pada
waktu itu imperialisme Barat yang datang di tanah air kita belum
bersifat imperialisme moderen, tetapi ia masih ada didalam tarap
imperialisme kuno, karena pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17
industri di negeri-negeri Barat belum maju, konsentrasi kapital atau
akumulasi kapital belum berkembang. Dari sebab itu bisa dikatakan bahwa
kapitalisme di negeri-negeri Barat itu masih bertarap kapitalisme kuno.
Namun
demikian tujuan daripada imperialisme kuno itupun pada hakekatnya
adalah sama saja dengan yang moderen, yaitu mencari untuk
sebesar-besarnya bagi diri sendiri.
Pada
waktu itu barang-barang yang dapat menghasilkan keuntungan besar di
pasaran negeri-negeri Barat ialah barang-barang yamg didatangkan dari
negeri-negeri di Asia, baik yang berupa hasil karya tangan bangsa-bangsa
Asia, seperti kain sutera, permadani dan intan mutu manikam, maupun
yang berupa hasil-hasil bumi benua Timur seperti rempah-rempah yaitu
lada, pala, kayu manis, cengkeh, dan lain sebagainya.
Itulah
sebabnya bahwa saudagar-saudagar kaya di negeri-negeri Barat
mengirimkan kapal-kapal berlayar mengarungi samudera-samudera raya untuk
“mengulak” barang-barang tersebut diatas tadi yaitu dari negeri-negeri
Asia.
Begitulah
orang-orang Portugis, orang-orang Inggris dan orang-orang Belanda
datang di kepulauan Indonesia dengan maksud dan tujuan yang sama. Mereka
datang untuk memenuhi nafsu kapitalisme kuno yaitu untuk mendapatkan
untung yang sebesar-besarnya juga. Kapitalisme kuno yang demikian itu
bersifat perdagangan, jadi bisa dikatakan bahwa Kapitalisme Belanda pun
bersifat kapitalisme perdagangan.
Kapitalisme-kapitalisme
kuno Barat itu setelah datang di negeri kita meneruskan pula mereka
punya perjuangan persaingan supaya memperoleh monopoli dalam “mengkulak”
dan mengangkut barang-barang hasil karya tangan dan terutama
rempah-rempah hasil bumi Indonesia ke negerinya masing-masing.
Didalam
perang persaingan itu akhirnya kapitalisme kuno Belandalah yang menang.
Dengan kemenangan itu Belanda lantas dapat menghadapi bangsa Indonesia
dengan perhatian yang lebih besar, lebih giat dan lebih kejam lagi.
KEADAAN MASYARAKAT INDONESIA
Bagaimanakah keadaan masyarakat Indonesia pada waktu bangsa kita berhadapan muka dengan kapitalisme kuno Belanda itu?
Apakah pada waktu itu tarap kebudayaan kita lebih rendah daripada kebudayaan bangsa-bangsa Barat yang mendatang itu ?
Tidak
! Pada waktu itu bangsa Indonesia telah mempunyai susunan
ketatanegaraan yang telah berjalan berabad-abad lamanya. Organisasi
perdagangan kitapun sudah maju. Armada perdagangan Indonesia sudah
terkenal di seluruh Asia.
Organisasi
dan kekuatan militer kitapun tidak terbelakang. Tetapi kelemahan itu
disebabkan karena bangsa Indonesia sudah mulai pada abad ke-15
terpecah-belah menjadi beberapa kesultanan kecil-kecilan, yang satu
dengan yang lainnya bersengketa dan berperang.
Kemegahan
Majapahit sudah runtuh, karena dengan meninggalnya Sang Patih Gajah
Mada, hilanglah pula kekuasaan dan kewibawaan pusat pemerintahan
feodalisme yang dahulu dapat mempersatukan wilayah dan bangsa kerajaan
Majapahit.
Proses
keruntuhan itu dipercepat lagi ketika sultan-sultan di daerah
pantai-pantai pulau Jawa dan luarnya satu demi satu memeluk agama Islam
dan dengan demikian memperkuat kedudukan mereka terhadap kekuasaan raja
di pusat yang masih beragama Hindu.
Demikianlah
timbul pemberontakan-pemberontakan dan peperangan silih berganti, tidak
ada henti-hentinya sehingga penderitaan Rakyat makin lama makin besar.
Keamanan dalam negeri tidak ada dan ekonomi Rakyat morat-marit.
Keadaan
demikian itu berlangsung juga setelah Majapahit runtuh (1847) dan Demak
menjadi kerajaan terkemuka di pulau Jawa. Situasi di pulau-pulau luar
Jawa hampir sama saja. Peperangan dan perpecahan seolah-olah menjadi
kebiasaan dan Rakyat sangat menderita oleh karenanya.
Didalam keadaan demikian itulah bangsa kita menghadapi kedatangan kapitalisme kuno dari Barat itu.
Pada
permulaan konfrontasi dengan kapitalisme kuno Barat itu memang bangsa
kita tidak menyerah dengan mudah begitu saja, karena mula-mula orang
Barat itu datangnya sebagai pedagang-pedagang yang hendak membeli
rempah-rempah dari kita. Tetapi lambat laun mereka datang dengan armada
yang bersenjata dan dimulai juga campur tangan dalam urusan medalam
negeri kita yaitu dengan menyalahgunakan pertentangan-pertentangan
antara kita dengan kita untuk mengadudomba kerajaan-kerajaan yang sedang
bermusuhan itu.
Pada
waktu perkembangan itu terjadi, yaitu pada permulaan abad ke-17,
kapitalisme kuno Belanda telah berhasil memperkuat diri dalam satu
kongsi besar dengan maksud untuk menghilangkan persaingan antara mereka
sendiri dan memperoleh monopoli dagang di kepulauan Indonesia. Kongsi
besar Belanda dinamakan Verenigde Oost Indische Compagnie atau VOC (1602).
Dipihak
kita baru pada tahun 1613 nampak suatu kekuasaan yang kira-kira sanggup
mencegah perkembangan kekuasaan VOC yang makin lama makin menjadi kuat.
Pada tahun 1613 itu naik tahtalah Sultan Agung Hanjarakusuma sebagai Sunan kerajaan Mataram.
Politik
Sultan Agung bertujuan untuk berkuasa atas seluruh tanah jawa dan
dengan demikian dapat menguasai juga gerak-gerik VOC. Politik yang
demikian itu dijalankannya dengan mematahkan perlawanan yang datang dari
bupati-bupati daerah-daerah pesisir. Tetapi Sultan Agung dalam
menjalankan politiknya itu membutat kesalahan yang bagi sejarah
Indonesia berakibat jelek sekali.
Didalam
menaklukkan bupati-bupati daerah pesisir itu Sultan Agung juga
menghancurkan kekuatan laut mereka, sehingga ketika ia berhasil
menegakkan kekuasaannya di daerah yang meliputi seluruh Jawa Tengah dan
Jawa Timur, maka kerajaan Mataram tidak mempunyai kekuasaan di laut,
tidak menjadi suatu kekuasaan maritim, melainkan menjadi kerajaan yang
semata-mata agraris belaka. Padahal waktu itu musuh kita yaitu
kapitalisme Belanda yang telah menjadi Imperialisme, merupakan suatu
kekuatan maritim yang tidak boleh diremehkan.
Itulah
sebabnya bahwa penyerangan Mataram melawan benteng pertahanan Belanda
di “Batavia” sampai dua kali (1628 dan 1629) gagal semua. Kekalahan
Sultan Agung itu disebabkan karena Mataram tidak mempunyai angkatan laut
yang kuat dan jarak garis perbekalan angkatan daratnya terlampau
panjang dan sukar.
Maka
dengan kegagalan Sultan Agung itu kedudukan imperialisme Belanda makin
menjadi kuat, apalagi ketika pada tahun 1641 Malaka direbutnya dari
tangan Imperialisme Portugis. Semua itu dijalankan untuk menegakkan dan memperkuat monopolinya.
Kekerasan,
paksaan dan tipu muslihat dijalankan oleh VOC supaya rempah-rempah
hanya dijual kepadanya. Ia tidak saja hendak bermonopoli membeli dengan
harga murah rempah-rempah itu dari Rakyat, tetapi hendak berkuasa pula
dalam menentukan harganya menurut kemauan sendiri.
Apabila
harga rempah-rempah di pasar Eropa turun karena kebanyakan
rempah-rempah yang dijual disana, maka VOC memaksa pemilik kebun-kebun
rempah-rempah di Indonesia untuk merusak tanaman-tanamannya (hongi tochten).
Bangsa kita yang tidak mau tunduk pada perintah VOC itu disiksa atau
dibunuh, atau dibuang ke lain tempat untuk dijadikan budak pada Belanda.
Seratus
lima puluh tahun lamanya VOC menjalankan kekejaman dan pemerasan
terhadap Rakyat Indonesia itu. Untuk menjalankan politik yang kejam itu,
VOC mempergunakan organisasi feodalisme Indonesia. Pegawai-pegawai
feodalisme dari yang paling tinggi sampai pada yang paling rendah
diturut sertakan sebagai kaki tangan VOC untuk menindas dan memeras
Rakyat.
Persaingan yang mula-mula datang dari kaum pedagang-pedagang Indonesia sudah dihancurkan sama sekali. Kaum hartawan Indonesia itu
tidak pernah dapat berkuasa dalam arti kata politik di Indonesia,
karena didalam tata masyarakat feodalisme di Indonesia kaum pedagang itu
tidak dihargai terlampau tinggi kedudukannya. Jadi sebelum golongan
pedagang itu, yang makin lama makin menjadi kuat kedudukannya, dapat
merebut kekuasaan dari kaum feodal, maka sudah dihapuskan atau paling
sedikit diperlemah sama sekali oleh pukulan-pukulan imperialisme
Belanda.
Maka
perkembangan masyarakat di Indonesia berjalan lain daripada misalnya di
Perancis, dimana “golongan menengah” dapat menjadi kuat dan kemudian
didalam revolusi besar berhasil menumbangkan kekuasaan feodalisme dan
menggantinya dengan kekuasaan borjuis di negerinya.
Itulah
sebabnya bahwa di Indonesia tidak tumbuh suatu kelas borjuis yang
berkuasa. Kekuasaan feodalismepun sudah lumpuh dan oleh imperialisme
Belanda hanya dijadikan sebagai kaki tangannya untuk menindas dan
memeras Rakyat Indonesia.
Berhubung
dengan perubahan-perubahan dan perkembangan politik di Eropa Barat pada
pertengahan abad ke-18 yang menjalar pula di negeri Belanda (ingatlah
revolusi besar di negeri Perancis), maka pada akhir tahun 1799, VOC
dihapuskan dan segala kekayaan dan miliknya diambil alih oleh
Pemerintahan Belanda yang pada waktu itu dinamakan pemerintahan Hindia
Belanda. Pengambilalihan itu disebabkan pula karena makin VOC menjadi
besar dan berkuasa, makin merajalela korupsi dianatara
pegawai-pegawainya, sehingga keuntungan menjadi tipis.
Maka
semenjak abad ke-18 itu imperialisme Belanda menjelma dalam bentuknya
yang baru yaitu sebagai kolonialisme dan dalam arti politik tanah air
kita jadi tanah jajahan negeri Belanda.
Pada
akhir abad ke-18 Eropa Barat mengalami pergolakan-pergolakan yang
hebat. Revolusi besar meledak di Perancis yang mempengaruhi seluruh
tubuh masayarakat Barat.
Kekuasaan borjuis tumbuh dimana-mana dengan kuat dan berhasil meruntuhkan kekuasaan feodalisme.
Disamping
peristiwa yang menggemparkan dunia itu, terjadilah revolusi lain yang
berlangsung di negeri Inggris, yaitu yang dalam sejarah dunia terkenal
dnegan nama Revolusi Industri (Industrial Revolution), ketika
mesin uap diketemukan oleh James Watt (1769). Mesin uap inilah yang
merubah secara radikal sistem produksi barang-barang.
Sejak
waktu itulah dapat dikatakan bahwa kapitalisme kuno berkembang denngan
cepat menjadi kapitalisme moderen yang memungkinkan terjadinya akumulasi
kapital dan sentralisasi kapital seperti yang diuraikan diatas tadi.
Dengan perekembangan kapitalisme moderen itu maka tumbuhlah pula
imperialisme moderen.
Indonesia
tidak luput kena pengaruh dari perubahan-perubahan hebat di Eropa
Barat. Tetapi pengaruh itu tidak datang sebagai cita-cita atau gagasan-gagasan
yang baru dan manfaat bagi Rakyat, melainkan sebagai
kekejaman-kekejaman dan pemerasan-pemerasan baru dari imperialisme
Belanda.
Kalau di jaman VOC Rakyat Indonesia selama 150 tahun sudah menderita bermacam-macam kekejaman dari “hongi tochten”
(Maluku), yaitu perusakan kebun-kebun rempah-rempah Rakyat, penyiksaan,
pembuangan, pemerasan sampai pada pembunuhan, maka imperialisme Belanda
pada pokoknya ialah sama saja dengan politik imperialisme kuno VOC,
yaitu menguasai bangsa Indonesia dengan memakai cara “devide et impera”
lewat kaum feodal sebagai kaki tangannya, supaya dengan demikian dapat
dengan mudah dan murah mengeduk dan memompa kekayaan Indonesia guna
keuntungan kaum kolonialis Belanda sendiri.
Kita
masih ingat pada kekejaman Gubernur Jenderal Daendels dengan ia punya
sistem kerja paksa atau “kerja rodi” yaitu memaksa Rakyat kita untuk
bekerja tanpa bayaran, ketika Gubernur Jenderal itu membuat jalan pos
raya dar Anyer sampai Panarukan, kurang lebih 1000 km panjangnya.
Tentu
saja jalan pos raya itu dibuatnya tidak untuk kepentingan Rakyat,
melainkan untuk kepentingan militer imperialisme Belanda yang merasa
kedudukannya di Indonesia terancam oleh imperialisme-imperialisme
lainnya, terutama Inggris.
Lain
daripada itu Daendels-lah juga yang menjual tanah Rakyat kepada
orang-orang kaya asing partikelir dan tanah-tanah itu menjadi
“tanah-tanah partikelir” yang menambah beban dan penderitaan bagi Rakat.
Setelah
Daendels berhenti pada tahun 1811 maka negeri kita diserbu oleh
imperialisme Inggris yang berhasil mengalahkan Belanda dan menduduki
Indonesia dari tahun 1811 sampai 1816 dibawah pimpinan Raffles.
Dibawah
penjajahan Inggris itu ditambah lagi penderitaan Rakyat kita, antara
lain dengan peraturan-peraturan pajak tanah yang dikeluarkan oleh
Raffles itu. Pajak tanah yang dinamakan “landrent” itu sangat berat bagi Rakyat.
Begitulah
terus-menerus Rakyat Indonesia ditindas dan diperas karena sesudah
tanah air kita diserahkan kembali kepada imperialis Belanda lagi.
Datanglah kekejaman baru menimpa Rakyat kita. Tanam paksa atau “cultuurstelsel” merajalela dan oleh karenanya, pengedukan dan pemompaan kekayaan Indonesia dijalankan terus dengan keras lagi.
Lain dariapada itu kemudian imperialisme Belanda di Indonesia menjalankan politik baru yang dinamakannya “opendeur politiek”
yaitu politik pintu terbuka yang memungkinkan modal-modal Inggris,
Amerika, Belgia, Jepang, dan lain-lain masuk di Indonesia untuk turut
mengeduk kekayaan negeri dan memeras tenaga Rakyat Indonesia untuk
keuntungan modal-modal asing itu sendiri, sehingga sejak dijalankannya “opendeur politiek” itu, imperialisme di Indonesia jadi internasional oleh karenanya.
Untuk
menggambarkan sedikit tentang besarnya modal kapitalisme asing yang
dijadikan alat eksploitasi kekayaan nasional kita, dapat dikemukakan
disini bahwa sampai pada kira-kira tahun 1930, Belanda saja mempunyai
lebih dari 4.000 juta gulden (rupiah Belanda), sedang semua modal asing
berjumlah kurang lebih dari 6.000 juta gulden !
Kalau
dipikirkan bahwa modal yang begitu besarnya itu menelurkan keuntungan
rata-rata sepuluh persen setahun, maka dapat dimengerti betapa hebatnya
penghisapan kapitalisme internasional itu terhadap Rakyat Indonesia.
Perkembangan
kapitalisme dan imperialisme yang makin lama makin memperkaya
bangsa-bangsa asing, tetapi makin memelaratkan dan menambah penderitaan
Rakyat Indonesia dengan begitu kasar dan menyolok mata itu, menyebabkan
beberapa orang Belanda yang progresip mengeluarkan protesnya terhadap
perkosaan perikemanusiaan oleh politik imperialisme Belanda di
Indonesia, didalam tulisan-tulisan yang tajam.
Misalnya
Douwes Dekker didalam bukunya “Max havelaar” dan Van Deventer dengan ia
punya tuduhan bahwa pemerintah Belanda mempunyai “ereschuld” (hutang kehormatan) kepada Rakyat Indonesia.
Suara-suara protes itu menimbulkan kehebohan di negeri Belanda dan pendapat umum banyak dipengaruhi oleh karenanya.
Itulah salah satu sebab mulai dijalankan oleh imperialisme Belanda “etische politiek”
(politik perikemanusiaan) yang pada umum disajikan sebagai suatu
politik yang bermaksud memperhatikan dan memperbaiki nasib Rakyat
Indonesia.
Tetapi
politik itu yang terprogram dalam tiga usaha, yaitu edukasi
(pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (pemindahan penduduk)
pada hakekatnya dijalankan untuk kepentingan kapitalisme dan
imperialisme di Indonesia semata-mata.
Sebab
meningkatnya kegiatan modal asing memerlukan selain banyak pekerja
biasa juga banyak tenaga menengah yang terdidik tapi murah. Itulah
sebabnya bangsa kita diberi sekolah-sekolah yang maksudnya tidak lain
ialah mendidik pemuda-pemuda kita menjadi buruh-buruh pandai dan murah
untuk perusahaan-perusahaan asing.
Memajukan
pengairan itu juga diperlukan untuk meningkatkan produksi
perusahaan-perusahaan perkebunan-perkebunan asing, terutama industri
gula, sedangkan transmigrasi dijalankan untuk keperluan tenaga murah
perusahaan-perusahaan perkebunan asing di daerah luar jawa yang
berkembang dengan cepat.
Pendek kata “etische politiek” itu hanya merupakan suatu cara caru untuk meneruskan eksploitasi
atas Rakyat Indonesia dengan lebih halus dan lebih sempurna. Itu dapat
dibuktikan dengan angka-angka yang berbicara secara jelas bahwa
keuntungan imperialisme di Indonesia makin lama makin naik.
Didalam
tahun 1880 kelebihan eksport sudah sebesar 25.000.000 gulden dan
didalam tahun 90-an sudah menjadi 36.000.000 gulden sedangkan pada akhir
abad ke-19 sudah meningkat sampai 45.000.000 gulden dan didalam tahun
1919 sudah membumbung menjadi 1.426.000.000 gulden.
Bagaimanakah
keadaan Rakyat ? Kemelaratan makin merosot. Hidupnya hanya dinilai
rata-rata dari 2,5 sen sehari buat tiap-tiap orang. Indonesia telah
menjadi “bangsa yang terdiri dari kuli-kuli dan bangsa kuli diantara
bangsa-bangsa lain”.
Lihatlah
saja dari daftar-daftar statistik Belanda! Rakyat pendapatannya setahun
rata-rata 100 gulden dan dari pendapatannya yang sedikit itu harus
membayar 10 % sedang Belanda baru kena pajak 10% itu kalau ia
berpendapatan tidak kurang dari 8.000 atau 9.000 gulden setahun. Toh
Rakyat harus membayar pajak istimewa yang pada tahun 1919 sudah mencapai
jumlah 86.900.000 gulden, tetapi dibawah pemerintahan Gubernur Jenderal
Bosch masih dinaikkan lagi sampai 173.400.000 gulden setahunnya.
Lain
daripada itu pendidikan Rakyat itu tidak diperdulikan. Sesudah
penjajahan sekian tahun lamanya, orang laki-laki yang melek huruf baru
ada 7% dan orang perempuan belum ada ½% !
Sama
saja halnya dengan perhatiannya terhadap kesehatan Rakyat. Diseluruh
Indonesia hanya ada 345 rumah sakit pemerintah. Kematian bangsa kita
setiap tahun rata-rata ada 20% dan di kota-kota besar meningkat sampai
30, 40, sampai 50%.
Demikianlah
beban penderitaan Rakyat didalam kehidupannya materil dan spirituil.
Rakyat kita hanya mengenal beban-beban dan kewajiban-kewajiban yang
berat-berat saja. Rakyat tidak mempunyai hak. Hak-hak tidak diberikan
kepadanya, karena yang dinamakan hak-hak oleh imperialisme pada
hakekatnya ialah peraturan-peraturan yang maksudnya untuk memperkuat
posisi penguasaan kolonialisme belaka.
Itulah
sebabnya bahwa didalam jaman imperialisme masih merajalela di tanah air
kita, ketidakadilan merajalela pula disegala bidang. Dimana-mana
dilakukan diskriminasi, dibidang politik, dibidang ekonomi dan dibidang
sosial.
Didalam kehidupan yang begitu tertindas itulah Rakyat kita seolah-olah sudah kehilangan darah dan kehilangan dagingnya.
Tata
kemasyarakatannya sudah dirusak oleh kekuasaan imperialisme asing.
Organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga kenegaraan dan perniagaannya
telah dipatahkan sama sekali atau kalau masih ada sisa-sisanya maka
itupun diperlemah sedemikian rupa sehingga dapat diperalat untuk
kepentingan imperialisme Belanda.
Tentulah keruntuhan disegala bidang itu menyebabkan terhentinya perkembangan kebudayaan kita pula.
Pimpinan
bangsa kita yang dahulu terletak ditangan kaum bangsawan feodalisme
sudah musnah pula, karena mereka itu sudah dijadikan alat imperialisme
asing untuk mengeduk kekayaan bangsa kita dengan mempergunakan tenaga
Rakyat dengan murah.
Maka
tidak mengherankanlah bawa bangsa kita yang dipecah belah dan diadu
dombakan oleh imperialisme Belanda itu lama-lama kehilangan rasa
kebangsaannya dan kehilangan rasa menghargai diri sebagai bangsa.
Rasa takut dan rasa lebih rendah daripada bangsa lain (infuriority complex) berjangkit dalam jiwa bangsa kita. Semangatnya menjadi lembek dan cita-citanya tidak dapat lebih tinggi daripada menjadi “ambtenaar” atau “priyayi” daripada imperialisme Belanda.
Dari
uraian diatas ini dapatlah dirumuskan empat pokok urat syaraf sistem
imperialisme yang terpenting, yang menyebabkan penderitaan Rakyat
Indonesia, yaitu:
1. Sistem imperialisme melahirkan politik devide et impera (memecah belah dan menguasai);
2. Sistem imperialisme menetapkan Rakyat Indonesia didalam kemunduran;
3. Sistem
imperialisme membangun kepercayaan didalam hati dan pikiran Rakyat,
bahwa bangsa kulit berwarna memang bangsa yang “karatnya” dan bahwa
bangsa kulit putih memang yang terluhur diantara bangsa-bangsa;
4. Sistem
imperialisme membangun kepercayaan dalam hati dan pikiran Rakyat, bahwa
kepentingan Rakyat adalah sesuai dan sama dengan kepentingan kaum
imperialisme, sehingga Rakyat tidak menjalankan politik selfhelp dan politik ingin merdeka, tetapi haruslah memeluk politik bersatu dengan kaum yang dipertuan, yakni politik assosiasi.
PERGERAKAN KEMERDEKAAN RAKYAT INDONESIA
Timbullah
sekarang pertanyaan, apakah dalam keadaan Rakyat Indonesia yang sudah
kehilangan segalanya dan seolah-olah sudah setengah mati kehidupannya
itu, masih dapat bereaksi terhadap penindasan imperialisme ?
Pertanyaan
itu tidak dapat dijawab lain daripada : dapat, karena sudah menjadi
hukum alam dan hukum sejarah bahwa tiap kekejaman penindasan itu lekas
atau lambat pasti akan menimbulkan perlawanannya, yaitu kehendak untuk
melepaskan diri dari kekejaman penindasan.
These
kekejaman penindasan imperialisme membangitkan anti thesenya, yaitu
perlawanan terhadap imperialisme itu. Dari pertentangan dan perlawanan
antara these dan anti these itu menurut hukum dialektika pasti akan
lahir sesuatu yang lebih baik dan sempurna daripada yang dilawan itu.
Semangat
perlawanan itu memang sudah ada didalam tubuh Rakyat kita, ia sudah
beberapa kali meletus lkeluar sebagai pemberontakan-pemberontakan
terhadap kolonialisme Belanda. Nama-nama pahlawan-pahlawan Nasional,
pemimpin-pemimpin pemberontakan-pemberontakan itu seperti Sultan Agung
Hanyarakusuma, Untung Surapati, Imam Bonjol dan Diponegoro masih tetap
terrulis dengan tinta emas didalam buku sejarah bangsa Indonesia.
Tetapi
pemberontakan-pemberontakan itu semua digagalkan oleh kekuatan
imperialisme, karena belum merupakan perlawanan yang bersandarkan
kekuatan massa Rakyat dan suatu asas yang prinsipil.
Baru
pada permulaan abad ke-20 mulai timbul pergerakan yang meskipun masih
dengan ragu-ragu atau instinkip bersandar atas kehendak Rakyat seperti
digambarkan diatas.
Memenag
barangkali pada waktu itu jamannya sudah matang dan saatnya sudah tiba
bagi Rakyat-rakyat terjajah dan tertindas untuk bangkit melawan
imperialisme, karena tidak saja di Indonesia, melainkan diseluruh Asia
kebangkitan itu timbul. “Strum uber Asien” (taupan diatas Asia)
sudah mulai menderu-deru. Di Jepang meriam sudah mendentum-dentum
menghantam dan menghancurkan kemegahan kekuasaan Tsar imperium Rusia. Di
Tiongkok Rakyat dibawah pimpinan dr. Sun Yat Sen meruntuhkan kekuasaan
kaisar feodalisme dan imperialisme asing, dan diatas puing-puingnya
mendirikan Tiongkok Baru (1912).
Angin
taupan dari Asia itu seolah-olah menderu-deru juga diatas tanah air
kita, menyentuh semangat perlawanan yang sedang bangkit diantara Rakyat
Indonesia. Budi Utomo lahir. Serikat Dagang Islam tidak lama kemudian
menyusul. Segera muncul pula National Indische Partij dan begitu
seterusnya berturut-turut tumbuh pergerakan Rakyat, makin lama makin
besar dan makin hebat mengutarakan amanat penderitaan Rakyat.
Urat syaraf anti these makin menjadi-jadi.
Imperialisme
Belanda menjadi khawatir dan “mengambil tindakan-tindakan” untuk
mematahkan kebangkitan nasional itu. Lapangan pergerakan Rakyat
dipersempit dan dipersukar. Pemimpin-pemimpin pergerakan ditangkapi,
dihukum dan diasingkan.
Tetapi
kehendak Rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan imperialisme
yang sudah sangat sekali bangkit itu tidak mungkin dibendung dan
dimatikan.
Apakah yang menjadi kekuatan pergerakan Rakyat yang demikian itu ?
Tidak lain tidak bukan ialah nasionalisme.
Nasionalisme
atau kebangsaan timbul daripada perasaan suatu bangsa yaitu suatu
golongan manusia bahwa mereka itu mempunyai “kehendak untuk bersatu”,
karena mereka bersama mengalami nasib yang sama dalam sejarahnya,
sehingga merupakan “satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan
nasib” itu dan hidup disuatu wilayah dimuka bumi ini dimana mereka oleh
Yang Maha Kuasa dikodratkan bertempat tinggal.
Jadi bangsa itu tidak saja timbul dari “le desir d’etre ensemble” (kehendak untuk bersatu-Ernest Renan) atau terjadi “aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” (satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (Otto Bauer), tetapi harus mempunyai tanah air juga.
Nasionalisme sebagai faktor kekuatan didalam pergolakan dunia menjadi tegas didalam abad ke-20 sebagai penjelmaan daripada “verzet van verdrukte elementen” melawan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Terutama di Asia ketegasan itu mencolok sekali.
Dari
sebab itu, dapat dikatakan bahwa abad ke-20 itu ialah abad nasionalisme
yang bertujuan menghapuskan imperialisme kolonialisme untuk dapat
membentuk masyarakat baru, yaitu masyarakat sosialis.
Nasionalisme
bangsa Indonesia ini bukanlah nasionalisme jaman lampau, bukanlah
nasionalisme feodal atau nasionalisme kederahan, melinkan nasionalisme
moderen yang lahir didalam jaman baru pula, yaitu pada permulaan abad
ke-20.
Tetapi
Rakyat Indonesia yang sudah bergerak pada waktu itu belum dapat
memformulir secara tegas makna dan tujuan daripada nasionalisme
Indonesia itu. Baru pada pertengahan tahun 1927 datanglah ketegasan itu.
MARHAENISME DAN PARTAI NASIONAL INDONESIA
Ketegasan
formulasi daripada asas dan cara perjuangan Rakyat Indonesia untuk
mencapai tujuannya, datang dengan lahirnya Marhaenisme dan PARTAI
NASIONAL INDONESIA pada tanggal 4 Juli 1927.
Lahirnya
ialah dalam waktu ketika pergerakan kemerdekaan nasional kita
seolah-olah telah dilumpuhkan oleh imperialisme Belanda yang setahun
sebelum itu berhasil menggagalkan pemberontakan kaum komunis dengan
kekerasan senjata.
Dalam
pada itu pergerakan kemerdekaan nasional seluruhnya karena
tindakan-tindakan keras Belanda itu, karena pemimpin-pemimpin baik
nasionalisme maupun Islampun dicurigai, dipersempit gerak-geriknya
ditangkapi, dihukum dan digulkan pula.
Dengan
mempergunakan cara dialektika Marxisme, Bung Karno yang pada waktu itu
tampil kemuka, menemukan bahwa dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan
imperialisme didunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya,
dapat ditarik kesimpulan bahwa Rakyat Indonesia hanya dapat menghentikan
penderitaannya yang telah dipikulnya berabad-abad lamanya itu, kalau
Rakyat kita menghapuskan sebab pokok daripada penderitaan Rakyat itu,
ialah imperialisme dan kolonialisme.
Imperialisme
itu hanya dapat ditumbangkan dengan perlawnan oleh Rakyat yang
dideritakan olehnya. Oleh karena imperialisme dapatnya menguasai dan
menderitakan Rakyat Indonesia ialah dnegan kekuasaan, maka kekuatan
imperialisme itu hanya dapat dipatahkan dengan kekuatan Rakyat pula.
Itulah
sebabnya bahwa Rakyat didalam perjuangannya melawan imperialisme itu,
harus membentuk kekuatan didalam suatu organisasi yang kuat. Nyawa
daripada pembentukan kekuatan Rakyat itu adalah Nasionalisme.
Jadi
teranglah bahwa di Indonesia ada keharusan pertentangan antara dua
kekuatan pokok, tetapi pertentangan itu bukanlah terutama pertengan
kelas, yaitu antara kelas buruh dan kelas borjuis (kapitalis) seperti di
Eropa Barat, melainkan pertentangan anara si terjajah dan si penjajah
atau antar Rakyat Indonesia yang menderita terhadap imperialisme yang
menyebabkan penderitaan Rakyat itu.
Disinilah
letaknya ciri khusus bagi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu
pertentangan yang prinsipil antara Rakyat Indonesia sebagai keseluruhan
terhadap imperialisme Belanda khususnya dan imperialisme pada umumnya,
atau dengan lain perkataan nasionalisme lawan imperialisme.
Tetapi
nasionalisme itu bukanlah nasionalisme yang instinktip, melainkan
nasionalisme yang sadar, bukan yang satis tetapi dinamis, pendek kata
bukan nasionalisme yanng negatif tetapi nasionalisme yang positif
revolusioner.
Nasionalisme
yang sadar berarti nasionalisme yang sadar akan keadaan masyarakat yang
kocar-kacir dan menderita karena penindasan imperialisme dan oleh
karenanya pula sadar akan keharusan menentang imperialisme itu dan
meruntuhkannya, supaya diatas puing-puingnya dapat didirikan suatu
masyarakat baru dimana Rakyat dapat hidup tanpa penderitaan didalam
keadilan dan kemakmuran yang merata.
Jadi
nasionalisme yang demikian itu berdasarkan asas perikemanusiaan. Ia
tidak mengagung-agungkan bangsa sendiri terhadap bangsa-bangsa lain, ia
tidak membenci dan mendendam terhadap sesama bangsa, pendek kata
nasionalisme kita bukan chauvinisme atau jingo nasionalisme, melainkan
nasionalisme yang sadar akan keharusan adanya masyarakat adil dan
makmur, serta bersandarkan atas asas perikemanusiaan.
Nasionalisme yang demikian itu oleh karenanya oleh Bung Karno dinamakan Sosio Nasionalisme.
Didalam
segi politiknya sosio nasionalisme enghendaki suatu alat yang sakti
untuk dapat mendirikan masyarakat adil dan makmur didalam negerinya
sendiri.
Alat
sakti itu ialah “Indonesia Merdeka, yang berbentuk bukan sebagai negara
kerajaan feodal yang terpecah belah, melainkan sebaai negara Republik
Kebangsaan dan Kesatuan, yang wilayah kedaulatannya meliputi daerah yang
dikuasai imperialisme kolonial Belanda, yaitu bekas Nederlands Oost
Indie, dari Sabang sampai ke Merauke.
Sosio
Nasionalisme menimbulkan suatu keharusan lain untuk dapat mencapai
tujuannya terakhir, yaitu masyarakat yang adil dan makmur bersih dari
kapitalsime, imperialisme dan kolonialisme.
Didalam
masyarakat demikian itu tidak akan tercapai keadilan dan kemakmuran,
apabila Rakyat banyak tidak turut serta membangunnya disegala bidang.
Sistem
imperialisme mengenai juga prinsip mengikutsertakan Rakyat itu, tetapi
hanya didalam bidang politik saja dengan maksud untuk tetap dapat
mempertahankan sistem kapitalismenya. Itulah yang dinamakan prinsip
demokrasi politik atau demokrasi parlementer liberal.
Tetapi
didalam prakteknya demokrasi politik itu yang dalam teorinya
berdasarkan persamaan hak bagi semua orang, ternyata bagi kaum tertindas
hanya merupakan persamaan hak untuk memilih wakil-wakil buat
lembaga-lembaga politik dalam negeri.
Oleh
karena yang berkuasa adalah kaum modal maka mereka tentu saja dapat
membiayai pemilihan wakil-wakil itu didalam badan-badan politik tadi
mempertahankan kepentingan kapitalisme.
Oleh
karena itu didalam bidang sosial ekonomi tetap ada persamaan dan
keadilan. Kaum kapitalis tetap kaya dan menjadi lebih kaya lagi,
sedangkan Rakyat tetap miskin dan terus dimiskinkan.
Demokrasi politik yang demikian itu adalah demokrasi kapitalis atau demokrasi borjuis.
Demokrasi
yang dikehendaki oleh sosio nasionalisme bukanlah demokrasi borjuis
yang demikian itu, tetapi suatu demokrasi yang sadar akan keharusan
bahwa didalam masyarakat adil dan makmur hanya kepentingan Rakyat
semualah yang harus dibela dan dipenuhi.
Jadi
demokrasi yang demikian itu tidak saja harus hidup dibidang politik,
tetapi juga dibidang ekonomi dan bidang sosial. Dengan lain perkataan
demokarsi demikian itu ialah demokarsi yang sadar akan keharusan
terbentuknya masyarakat seperti diuraikan diatas tadi.
Demokrasi yang sadar seperti itu, oleh Bung Karno dinamakan sosio demokrasi.
Dari
uraian diatas maka jelaslah bahwa unsur yang terpenting didalam sosio
nasionalisme dan sosio demokrasi itu ialah kepentingan Rakyat yang
melarat, atau lebih tepat Rakyat yang dimelaratkan oleh imperialisme.
Rakyat yang dimelaratkan dan disengsarakan oleh imperialisme, leh Bung Karno dinamakan kaum Marhaen.
Oleh
sebab itu ajaran yang bertujuan susunan negara dan masyarakat yang
didalam segala halnya menghendaki menyelamatkan kaum Marhaen dinamakan
MARHAENISME.
Jadi sosio nasionalisme itupun nasionalismenya kaum Marhaen. Begitupun juga sosio demokrasi adalah demokrasi kaum Marhaen.
Marhaenisme
oleh karenanya adalah ajaran tata masyarakat politik, ekonomi, dan
sosial yang revolusioner. Ia tidak menghendaki perbaikan masyarakat
imperialisme kolonial secara tambal sulam artinya yang insidentil atau
reformistis, tetapi Marhaenisme hendak membangun masyarakat baru sama
sekali, yang bersih dari kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.
Jadi
masyarakat lama itu yang bersandarkan atas kejaliman dan ketidakadilan
harus dihapuskan dulu secara radikal (sampai pada akar-akarnya) supaya
dapat didirikan masyarakat yang bersandar atas perikemanusiaan dan
keadilan.
Itulah sebabnya Marhaenisme adalah revolusioner, karena ia menghendaki “Umgestaltung von Grund aus”
(perubahan yang radikal) dan sudah sewajarnyalah bahwa ajaran yang
revolusioner itu tidak boleh tidak harus anti kapitalisme, anti
imperialisme dan anti kolonialisme.
CARA PERJUANGAN MARHAENISME
Dimuka sudah diuatarakan bahwa Marhaenisme bukan saja asas tetapi sekaligus juga cara perjuangan.
Itulah
sebabnya bahwa bersama-sama dengan lahirnya Marhaenisme, lahirlah pula
pergerakan Rakyat Marhaen dan kaum Marhaenis pada tanggal 4 Juli 1927,
didalam bentuk suatu organisasi partai, ialah :
PARTAI NASIONAL INDONESIA
Untuk
mengetahui siapakah yang disebut Marhaen dan siapakah yang dinamakan
Marhaenis sudah ada definisi yang dirumuskan oleh Bung Karno sebagai
berikut :
Kaum
Marhaen ialah setiap Rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat
lagi yang dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme dan
kolonialisme, dan kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap
patriot bangsa yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen dan yang
sama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem
kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme dan yang bersama-sama massa
Marhaen mebanting tulang untuk membangun negara dan masyarakat yang
kuat, bahagia sentausa, adil dan makmur.
Pokoknya ialah bahwa setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama dengan kaum Marhaen.
Maksud
mendirikan PNI pada waktu itu ialah pertama-tama untuk membentuk
kekuatan Rakyat kaum Marhaen dan Marhaenis sebagai alat guna meruntuhkan
imperialisme di Indonesia, jadi sebagai penyusunan kekuatan anti these
daripada lawan Rakyat Marhaen, yaitu imperialisme Belanda.
Jiwa daripada PNI yang dapat menggerakkan Rakyat membentuk kekeuatan (machtsvorming) terhadap imperialisme Belanda itu, ialah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi.
Sudah
menjadi hukum dialektika pula bahwa partai yang revolusioner seperti
PNI itu, harus menjalankan pertentangan erhadap empat rupa urat syaraf
imperialisme seperti yang telah diterangkan diatas tadi.
Terhadap politik devide et impera, PNI menjawabnya dengan politik kontra devide et impera yaitu dengan politik persatuan nasional Indonesia.
Sistem
imperialisme yang hendak menetapkan Rakyat Indonesia didalam kemunduran
baik jasmaniah maupun rohaniah, dijawab oleh PNI dengan kontra politik
sistem imperialisme yang demikian itu, yaitu dengan politik membangun
usaha Rakyat sendiri dibidang ekonomi, misalnya dengan gerakan-gerakan
koperasi, dan lain sebagainya.
Sedangkan dibidang mental PNI mengadakan pemberantasan buta huruf, mengadakan kursus-kursus dan perguruan-perguruan nasional.
Politik imperialisme menanam rasa rendah diri (inferiority complex)
dalam hati dan pikiran Rakyat, kita jawab dengan politik kontra
perasaan rendah diri itu, dengan menanam didalam hati Rakyat perasaan
harga diri yaitu bahwa kita adalah bangsa yang pernah mempunyai sejarah
dan kebudayaan yang gilang gemilang dan kalau diberi kesempatan pasti
dapat menjadi besar dan jaya lagi.
Begitupun
pula politik asosiasi dengan kaum imperialisme, kita jawab dengan
politik kontra asosiasi, yaitu politik perlawanan terhadap imperialisme
dengan menarik garis tegas antara kepentingan kaum imperialis dan
kepentingan nasional Rakyat kita.
Sesudah
Indonesia merdeka dan imperialisme Belanda sudah tak berkuasa lagi di
tanah air kita, politik Marhaenisme (PNI) disesuaikan dengan keadaan
baru.
Pertama-tama PNI menandaskan bahwa Indonesia Merdeka, yang oleh Bung Karno dilambangkan sebagai jembatan emas (dus
sebagai alat) kearah suatu masyarakat yang adil dan makmur, harus
dikonsolidasi dan disempurnakan, sehingga sebagai alat benar-benar
menjadi kuat sentausa. Harus disempurnakan dengan dibebaskannya Irian
Barat dari cengkeraman imperialisme kolonialisme Belanda.
Kedua
PNI dengan konsekuen harus turut serta, ya malahan menjadi pelopor,
dalam segala usaha, segala perjuangan untuk melaksanakan Amanat
Penderitaan Rakyat supaya dengan demikian dapat lekaslah tercapai
cita-cita bangsa kita, yaitu masyarakat adil makmur, masyarakat
Marhaenis atau masyarakat sosialis Indonesia Pancasila.
Dalam
pada itu PNI pun menginsyafi bahwa imperialisme kolonialisme belum
lenyap dari muka bumi ini. Di negeri-negeri Asia-Afrika dan Latin
Amerika, imperialisme itu muncul dalam baju baru sebagai neo
kolonialisme. Itulah sebabnya PNI, sesudah Indonesia Merdeka, tetap
secara konsekuen menentang imperialisme kolonialisme.
Adapun
tugas PNI untuk menyadarkan Rakyat. Terutama Rakyat Marhaen, akan
penderitaannya dan cara bagaimanakah dapat menghapuskannya, tetap
dijalankan di jaman kemerdekaan ini juga.
MASSA AKSI
Maka politik anti these, politik konra imperialisme itulah yang menjadi jiwa dari pergerakan Rakyat didalam suatu massa aksi.
Masa
aksi yang revolusioner berarti suatu aksi Rakyat yang
“bergelombang-gelombang melimpahi seluruh negeri, membangkitkan seluruh
energi Rakyat, mengelektrisir sekujur badan bangsa”, yang bersenjata
semangat sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan berprogram empat
politik anti these tadi serta program yang sudah disesuaikan dengan
jaman sekarang. Massa aksi yang demikian itulah yang dapat membangkitkan
desakan “kekerasan batin” (moral force) yang maha besar dan maha hebat sehingga tujuan Rakyat Marhaen pasti dapat tercapai !
Diatas
sudah diterangkan bahwa kaum Marhaen ialah “setiap Rakyat Indonesia
yang melarat atau lebih tepat lagi yang dimelaratkan oleh sistem
kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme”.
Menurut
kenyataan Rakyat Indonesia itu bagian terbesar terdiri atas kaum tani
dan kaum buruh. Jadi Rakyat yang dimelaratkan oleh imperialisme
kolonialisme itu ialah kaum buruh dan kaum tani.
Maka
dari itu didalam massa aksi melawan imperialisme itu, kaum buruh dan
kaum tani harus menjadi unsur-unsur terpenting dan yang paling
revolusioner.
Itulah sebabnya bahwa didalam ajaran Marhaenisme, kaum buruh dan kaum tani menjadi tiang-tiang penting didalam perjuangannya.
Dari
uraian diatas ini teranglah sekarang bahwa Marhaenisme adalah sekaligus
asas dan cara perjuangan. Maka mengertilah kita sekarang makna daripada
rumusan Marhaenisme yang oleh Bung Karno Bapak Marhaenisme diringkaskan
sebagai berikut :
1. Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masayarakat dan negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.
2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.
3. Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan “tegelijk” menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.
4. Marhaenisme ialah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang sosial bewust pula.
Dari
rumusan itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Marhaenisme itu adalah
ajaran politik dan sosial yang revolusioner dan radikal. Oleh karenanya
massa aksi Marhaenis adalah berpokok pada ke revolusioneran dan
radikalisme itu.
Didalam
bukunya “Mencapai Indonesia Merdeka”, Bung karno memberi penjelasan
tentang arti massa aksi antara lain sebagai berikut :
“Bagaimana ‘ommekeer’ susunan sosial bisa terjadi ? Pertama-tama oleh kemauannya dan tenaganya masyarakat sendiri, oleh ‘immanente krachten’
daripada masyarakat sendiri, oleh “kekuatan-kekuatan rahasia” daripada
masyarakat sendiri. Tetapi tertampak keluarnya, lahirnya, jasmaninya,
oleh suatu pengerahan Rakyat jelata yang radikal, yakni oleh massa aksi.
Tidak ada suatu perubahan besar didalam riwayat dunia yang akhir-akhir
ini, yang lahirnya tidak karena massa aksi. Tidak ada transformasi di
jaman akhir-akhir ini, yang zonder massa aksi adalah senantiasa
menjadi penghantar pada saat masyarakat tua melangkah kedalam masyarakat
yang baru. Massa aksi adalah senantiasa menjadi peraji (bidan) pada
saat masyarakat tua yang hamil itu melahirkan masyarakat yang baru.”
Maka kitapun, bilamana kita ingin mendatangkan perubahan yang begitu maha besar didalam masyarakat sebagai gugurnya stelsel
imperialisme dan kapitalisme, kitapun harus bermassa aksi. Kitapun
harus menggerakkan Rakyat Jelata didalam suatu pengerahan radikal yang
bergelombang sebagai banjir, menjelmakan pergerakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust
dan radikal, yakni massa aksi yang insyaf akan jalan dan maksudnya.
Sebab, massa aksi bukanlah sembarangan pergerakan massa, bukanlah
sembarangan pergerakan yang orangnya beribuan atau bermilyunan. Massa
aksi adalah pergerakan massa yang radikal.
Dan massa aksi yang manfaat seratus persen hanyalah massa aksi yang bewust dan insyaf; oleh karena itu maka massa aksi yang manfaat adalah dus : suatu pergerakan Rakyat jelata yang bewust dan radikal.
Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang onbewust dan ragu-ragu dan raba-raba menjadi pergerakan yang bewust dan radikal ? Dengan suatu partai.
Dengan suatu partai yang mendidik Rakyat jelata itu kedalam kebewustan
dan keradikalan. Dengan suatu partai, yang menuntun Rakyat jelata itu
didalam perjalanannya kearah kemenangan mengolah tenaga Rakyat jelata
itu didalam perjuangannya sehari-hari, menjadi pelopor daripada Rakyat
jelata itu didalam menujunya kepada maksud dan cita-cita.
Partailah
yang memegang obor, partailah yang berjalan dimuka, partailah yang
menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga
menjadi jalan yang terang. Partailah yang memegang komando daripada
barisan massa. Partailah yang harus memberi kebewustan pada pergerakan massa, memberi kesadaran, memberi keradikalan.
Oleh karena itu, maka partai sendiri labih dahulu harus partai yang bewust, partai yang sadar, partai yang radikal. Hanya partai yang bewust
dan sadar dan radikal bisa menjadi pelopor yang sejati didalam
pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada
kemenangan dan keunggulan. Hanya partai yang demikian itu bisa membikin
massa aksi yang bewust, massa aksi yang dus dengan cepat bisa menggugurkan stelsel yang menjadi buah perlawanannya.
Demikianlah penjelasan Bung Karno tentang arti massa aksi, yang harus menjadi cara perjuangan Marhaenisme.
Dari
penjelasan tersebut diatas teranglah pula fungsi partai didalam
Marhaenisme, yaitu sebagai alat revolusioner untuk menyadarkan Rakyat
jelata, dus kaum Marhaen, akan tujuan perjuangannya, yaitu
meruntuhkan imperialisme- kolonialisme dan mendirikan diatas
puing-puingnya suatu masyarakat baru : masyarakat adil dan makmur,
masyarakat Marhaenis atau sosialis Indonesia.
DASAR FILSAFAT MARHAENISME
Tiap-tiap
asas dan cara perjuangan Rakyat harus berdasar atas suatu keyakinan
tentang pandangan hidup Rakyat yang berjuang itu. Kalau tidak demikian,
maka ajaran itu adalah suatu ajaran yang melamun atau khayal.
Begitupula
Marhaenisme. Ia berdasar atas suatu keyakinan tentang pandangan hidup.
Pandangan hidup itu ialah suatu keyakinan tentang bagaimanakah segala
sesuatu di dunia ini terjadi dan berkembang.
Itulah
yang dinamakan filsafat hidup. Marhaenisme sebagai asas dan cara
perjuangan Rakyat yang dideritakan oleh penindasan imperialisme
mempunyai dasar filsafat yang khusus mengenai kehidupan Rakyat Indonesia
dialam masyarakat tanah airnya sendiri.
Sudah
barang tentu didalam hati Rakyat yang menderita kesengsaraan hidup
sehari-hari, kekurangan sandang seperti diterangkan diatas, pertama-tama
timbullah pertanyaan, apakah sebab daripada kemelaratannya dan apakah
sebab daripada kekayaan dan kenikmatan hidup orang-orang asing yang
menjajahnya.
Mudahlah
dapat dimengerti bahwa Rakyat yang serba kekurangan menjawab pertanyaan
itu dengan satu kesimpulan bahwa yang menjadi sebab perbedaan besar
daripada kehidupan si ditindas dan si penindas ialah harta benda.
Si
peninas bangsa asing dapat berkuasa dan hidup mewah dan enak karena ia
mempunyai kekayaan yang serba benda. Sebaliknya si ditindas tidak
berkuasa dan hidup dalam kemelaratan karena ia tidak mempunyai serba
benda itu. Jadi ia kira bahwa segala sesuatu di dunia ini terjadi dan
berkembang karena daya benda atau daya materi.
Dari
sebab itu timbullah gagasan bahwa cara pembikinan benda itu dapat juga
mempengaruhi jalan pikiran orang, malahan dapat menentukannya. Menurut
pikiran itu maka di dunia ini yang primer yang nomor satu ialah benda
atau materi.
Tetapi
gagasan Rakyat Indonesia tidak demikian. Meskipun didalam
kesengsaraannya Rakyat berpikir pertama-tama pada kebendaan sebagai
syarat untuk perbaikan nasibnya, ia toh karena tradisi
berabad-abad lamanya sekaligus berpikir tentang kekuatan yang menurut
keyakinannya ada diluar kebendaan itu. Ia berkeyakinan bahwa diatas
materi itu ada suatu kekuatan yang lebih besar dan yang berkuasa untuk
menciptakan benda, untuk memungkinkan adanya benda itu.
Kekuatan
yang Maha Kuasa itu, yaitu yang ada tanpa mempunyai sebab, ia sebut
TUHAN. Maka Tuhanlah pula yang menentukan adanya kekuatan lahir dan
kekuatan batin didalam tubuh manusia.
Itulah
sebabnya bahwa Rakyat Indonesia mampu pula merasakan dengan
kebatinannya penderitaan-penderitaannya yang disebabkan oleh
imperialisme di negeri kita.
Memang
benar bahwa yang menimbulkan perasaan penderitaan itu ialah peninasan
yangterutama berupa serba benda. Tetapi sebaliknya serba benda itu tidak mungkin
akan menimbulkan reaksi apa-apa, kalau Rakyat tidak mempunyai daya
kebatinan yang mampu menimbulkan perasaan tadi. Reaksi yang demikian itu
selanjutnya menimbulkan kesadaran yang dapat mengadakan gerakan masa
dengan tujuan merubah kehidupan materil kaum Marhaen sehingga ia hidup
bahagia sejahtera.
Jadi
kekuatan batin itupun dapat meruah kekuatan benda, tetapi sebaliknya
bendapun dapat merubah kelemahan batin menjadi kuat. Maka didalam
kehidupan manusia selalu ada dua kekuatan itu, tidak saja berdampingan
tetapi juga saling mempengaruhi. Oleh karena itu pandangan hidup Rakyat
Indonesiapun sesuai dengan kenyataan itu.
Kedua
unsur itu yaitu kebendaan dan kebatinan, adalah sama dayanya dan sama
nilainya. Yang satu tidak dapat diangan-angankan tanpa yang lainnya.
Keduanya menjadi intisari daripada pandangan filsafat Marhaenisme tetapi
mereka tak dapat dipisah-pisahkan karena fungsinya ialah satu.
Itulah sebabnya bahwa kebendaan dan kebatinan daat disebut intisari daripada dasar filsafat Marhaenisme.
Ditinjau
dari sudut filsafat Marhaenisme itu, mudah dimengerti kalau PNI mulai
dulu sudah memperjuangkan suatu masyarakat adil dan makmur baik lahir
maupun batin, atau materil atau sprirituil.
MARHAENISME DAN PANCASILA
Pancasila
sebagai dasar falsafah negara, lahir pada tanggal 1 Juni 1945, ketika
Bung Karno menguraikan kepada Rakyat Indonesia tentang pokok-pokok dasar
filsafat negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Tetapi
apabila kita mempelajari tulisan-tulisan dan uraian-uraian Bung Karno
sejak lahirnya Marhaenisme pada tahun 1927 maka teranglah bahwa gagasan
tentang pokok-pokok dasar Pancasila itu sudah ada pada tahun-tahun itu.
Sila Kebangsaan Indonesia berarti suatu kebangsaan yang luas, bukanlah berpaham “Indonesia uber Alles”, tetapi suatu kebangsaan perikemanusiaan yang dalam istilah Mahatma Gandhi dikatakan “my nation is humanity” (kebangsaan saya adalah perikemanusiaan).
Perikemanusiaan
itu adalah sila kedua dan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia hendak
hidup dalam persahabatan dengan seluruh bangsa-bangsa didunia ini.
Itulah suatu internasionalisme yang sehat.
Internasionalisme
ini dapat hidup subur kalau bersandarkan nasionalisme yang luas dan
berasaskan perikemanusiaan tadi, dan nasionalisme hanya dapat hidup
sehat kalau bersandarkan atas persahabatan bangsa-bangsa itu. Atau
seperti dikatakan oleh Bapak Marhaenisme : “Internasionalisme tidak
dapat hidup subur kalau tidak berakar didalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman
sarinya internasionalisme”.
Sila
ketiga ialah kerakyatan atau demokrasi, tetapi bukanlah demokrasi
liberal Barat, melainkan demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan
sosial. Jadi itu berarti demokrasi dalam segala bidang kehidupan
Rakyat, yaitu dibidang-bidang politik, ekonomi dan sosial. Demokrasi ini
bukanlah suatu sistem yang berasaskan “majority rule”, tetapi adalah demokrasi musyawarah untuk mufakat.
Demokrasi demikian dilangsungkan dalam badan perwakilan “yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip : politiek rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid”.
Inilah yang sebagai sila keempat dinamakan “keadilan sosial”.
Sila
Ketuhanan berarti “bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri”.
Lain
daripada itu “hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya menyembah Tuhannya dengan cara tiap-tiap orangnya menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap Rakyat hendaknya ber-Tuhan
secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya
negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan !”.
Maka
kalau kita bandingkan keterangan-keterangan Bung Karno tentang isi dan
arti lima sila daripada dasar filsafat negara tersebut diatas ini,
dengan dasar-dasar pokok Marhaenisme yang telah diutarakan dimuka tadi,
mengertilah kita kan pernyataan Bung Karno yangberbunyi sebagai berikut :
“Atau
barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara-sudara tanya kepada
saya apakah “perasan” yang tiga itu ? Berpuluh-puluh tahun sudah saya
pikirkan dia, dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung
kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme,
kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu : itulah yang
dahulu saya namakan sosio nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek economische democratie, yaitu politiek democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejaheraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dahulu saya namakan socio democratie.
Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga : socio nationalisme, socio democratie dan ketuhanan.”
Didalam
pernyataan Bapak Marhaenisme yang dikutip diatas ini, teranglah
menonjol persamaan atau identifikasi Marhaenisme dengan Pancasila.
Maka dari sebab itu, Pancasilapun menjadi dasar pandangan hidup, menjadi “Weltanschauung” Marhaenisme.
Jadi
kalau Marhaenisme menghendaki masyarakat adil dan makmur bagi Rakyat
Indonesia, maka masyarakat demikian itu harus pula berdasarkan atas
pandangan hidup itu, ialah PANCASILA.
MARHAENISME DAN SOSIALISME INDONESIA
Sosialisme
adalah tata kemasyarakatan dimana Rakyat hidup sama rata sama rasa
didalam segala bidang kehidupannya, baik politik maupun ekonomi dan
sosial.
Didalam masyarakat yang demikian itu terjaminlah keadilan bagi semua Rakyat. L ‘homme par l’homme
(penghisapan manusia oleh manusia) tidak ada, karena kapitalisme,
imperialisme dan kolonialismepun tidak ada. Atau menurut perumusan Bung
Karno : “secara negatif; tidak ada kemiskinan, tidak ada l’exploitation de’homme par l’homme, tidak ada kekayaan individu yang berlebih-lebihan, sebaliknya secara positif : kekayaan umum yang melimpah-limpah”.
Didalam
masyarakat sosialis yang demikian itu kehidupan rohaniahpun tidak
dimiliki oleh individu atau segolongan kecil individu-individu saja,
melainkan dimilIki umum juga. Kehidupan politikpun tidak hanya dikuasai
oleh seorang atau segolongan kecil orang-orang saja melainkan dikuasai
pula oleh Rakyat semua.
Itulah semua pada umumnya cita-cita tata masyarakat sosialisme.
Adapun sosialisme Indonesia menurut konsepsi Depernas, yang telah disetujui oleh MPRS ialah sebagai berikut :
“Sosialisme
Indonesia adalah suatu ajaran dan gerakan tentang tata masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila adalah tuntutan Amanat Penderitaan
Rakyat Indonesia.”
Seperti
sudah diterangkan diatas, Marhaenisme ditemukan dan dirumuskan oleh
Bung Karno dari Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia karena penindasan
imperialisme. Maka Marhaenismepun adalah suatu ajaran tentang asas dan
cara perjuangan Rakyat kaum Marhaen yang dimelaratkan oleh feodalisme,
kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme, yaitu suatu ajaran tentang
asas dan cara perjuangan untuk menghilangkan feodalisme, kapitalisme,
imperialisme dan kolonialisme itu supaya dapat membangun di bumi tanah
air Indonesia suatu masyarakat baru yang adil dan makmur. Dari sebab itu
masyarakat yang dicita-citakan Marhaenisme atau masyarakat Marhaenisme
itu ialah masyarakat sosialis Indonesia.
Dan
sebagai telah diterangkan diatas pula, dasar pandangan hidup
Marhaenismepun Pancasila juga, jadi sosialisme Marhaenisme adalah
sosialisme Pancasila.
MARHAENISME DAN MANIFESTO POLITIK
Menurut
Manifesto Politik maka revolusi Indonesia yang nasional dan demokratis
adalah “revolusi bersama dari semua kelas dan golongan yang menentang
imperialisme kolonialisme. Pendeknya revolusi Indonesia harus mendirikan
kekuatan gotong royong, kekuatan demokratis yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional,
seluruh kekuatan Rakyat”.
Adapun tentang cita-cita atau tujuan revolusi Indonesia didalam Manifesto Politik ditegaskan sebagai berikut :
“Hari
depan revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur atau sebagai
sering dikatakan oleh Presiden Sukarno “sosialisme ala Indonesia” yaitu
sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di
Indonesia, dengan alam Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat
istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan Rakyat Indonesia”.
Supaya
cita-cita revolusi Indonesia itu tetap murni apabila telah tercapai ,
maka penting sekali kita mengetahui siapakah musuh-musuh yang sebenarnya
daripada revolusi Indonesia itu, jangan sampai mudah dijadikan teman
dan teman dijadikan lawan dalam revolusi.
Musuh revolusi Indonesia yang sebenarnya ialah imperialisme.
Itulah sebabnya bahwa semangat daripada Manifesto Politik ialah semangat melawan imperialisme itu.
Diatas
sudah diterangkan bahwa Marhaenisme berjuang karena hendak membebaskan
Rakyat dari penderitaannya yang disebabkan oleh penindasan imperialisme.
Oleh karena itu Marhaenismepun, yaitu sosialisme yang disesuaikan
dengan kepribadian nasional Indonesia atau dengan singkat sosialisme
Indonesia.
KESIMPULAN-KESIMPULAN
Kalau
kita sekarang sampai pada membuat kesimpulan-kesimpulan daripada apa
yang telah diterangkan diatas tentang pokok-pokok ajaran Marhaenisme,
maka pertama-tama kesimpulan kita ialah mengenai dasar dan cara
pengupasan masalah kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme didunia
pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya serta pengaruhnya terhadap
masyarakat Indonesia.
Dasar
dan cara pengupasan itu ialah terletak dalam keadaan yang nyata
daripada masyarakat Indonesia dan dalam perkembangan sejarah bangsa
kita.
Dasar
dan cara demikian itu sesuai dengan dasar dan cara yang dipakai oleh
Marxisme, yaitu pengupasan hukum-hukum sejarah dengan cara berpikir
dialektika : yakni dari pertentangan antara these dan anti these, pasti
lahirlah synthese.
Dengan
memakai metodik analisa Marxisme terdapatlah kenyataan bahwa di
Indonesia ada peninasan dan penghisapan oleh kapitalisme, imperialisme
atas Rakyat Indonesia yang menderita oleh karenanya. Kenyataan demikian
itu menimbulkan keharusan pertentangan antara golongan Rakyat Indonesia
sebagai keseluruhan dan golongan imperialisme dus bukan pertentangan kelas dengan kelas.
Dasar
dan cara berpikir demikian itu bukanlah semata-mata untuk mengupas
keadaan masyarakat supaya kita “mengerti” tentang sebab musabab keadaan
itu, tetapi dasar dan cara berpikir demikian itu ialah dipergunakan
untuk merubah keadaan masyarakat itu secara radikal revolusioner.
Jadi dasar dan cara berpikir itu tidak stais melainkan dinamis.
Maka
dari itu benarlah apa yang ditegaskan oleh Bung Karno bahwa “orang
tidak akan dapat mengerti Marhaenisme jika ia tidak mempelajari dan mengerti Marxisme”.
Jadi
dapatlah disimpulakan bahwa pengaruh Marxisme didalam Marhaenisme
adalah besar, meskipun Marhaenisme pada hakekatnya adalah ajaran tentang
asas dan cara perjuangan di Indonesia, oleh Rakyat Indonesia dan untuk
Rakyat Indonesia dan sesuai dengan kondisi-kondisi serta kepribadiaan
masyarakat Indonesia.
Dari
pengupasan atas dasar-asar demikian itulah dapat disimpulakn oleh Bung
Karno (lihatlah “Suluh Indonesia” tanggal 4 Juli 1957) bahwa :
“Marhaenisme
pada mulanya adalah ilmu perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai
Indonesia Merdeka dan satu masyarakat adil dan makmur; kemudian ternyata
bahwa ada beberapa negara diluar Indonesia yang sebenarnya mempraktekan
Marhaenisme. Dengan begitu ternyata bahwa Marhaenisme itu mempunyai
sifat universal, yaitu suatu ilmu pelaksanaan masyarakat adil dan
makmur, masyarakat sosialis, menurut keadaan masing-masing bangsa.”
Marhaenisme
adalah pula sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, ialah ajaran yang
bertujuan susunan negara dan masyarakat yang didalam segala halnya
menghendaki menyelamatkan kaum Marhaen.
Kesimpulan
selanjutnya yang dapat diambil dari keterangan-keterangan diatas ini,
ialah bahwa jelaslah persamaan asas dan cara perjuangan Marhaenisme
dengan asas dan cara perjuangan Manipol. Baik Marhaenisme maupun
Manifesto Politik menuju kesatu cita-cita dan tujuan Revolusi Nasional
Indonesia yangterakhir, yaitu masyarakat adil dan makmur, atau
masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.
Maka
bagi tiap Marhaenisme yang sadar, dirasakan sebagai tepat sekali apa
yang dinyatakan oleh Bung Karno, Bapak Marhaenisme, didepan Kongres PNI
ke-9, pada tanggal 25 Juli 1960 di Sala, yang berbunyi sebagai berikut :
“Ya
Usdek, ya Sosialisme Indonesia, ya Manifesto Politik, ya
pesanan-pesanan yanng bernama penyelenggaraan pemenuhan daripada Amanat
Penderitaan Rakyat itu, semuanya tak lain dan tak bukan adalah emanasi,
yaitu pengutaraan dariapada jiwa yang membakar Marhaenisme.”
“Ya Marhaenisme, Ya Usdek, Ya Sosialisme Indonesia, Ya Manifesto Politik, itu sebetulnya kerbau-kerbau dari satu kandang.”
“Usdek, Sosialisme Indonesia dan sebagainya itu adalah perkataan-perkataan lain, tetapi artinya sama.”
Adanya
kesimpulan tentang cara perjuangan Marhaenisme ialah dapat disingkat
dengan mengemukakan inti sarinya, yaitu massa aksi yang radikal
revolusioner.
Jakarta, Juli 1961