Kegigihannya mempertahankan identitas sukunya menginspirasikan
Aleta Baun, seorang
perempuan dari Nusa Tenggara Timur, meraih penghargaan Goldman
Environmental Prize 2013 atas jasa-jasanya di bidang konservasi alam.
Mama Aleta menerima langsung Goldman Environmental Prize 2013 dalam satu
upacara khusus di San Francisco Opera House, Amerika Serikat, sekitar
pukul 17.00, Senin 15 April 2013, waktu San Fransisco atau pukul 07.00,
16 April 2013 WIB.
Goldman Environmental Prize 2013 merupakan
Hadiah Lingkungan Hidup yang diberikan setiap tahun kepada pahlawan
lingkungan hidup, masing-masing mewakili enam kawasan besar di dunia.
Lima lainnya adalah Jonathan Deal (Afrika Selatan), Kimberly Wasserman
(AS), Azzam Alwash (Irak), Rossano Ercolini (Italia), dan Nohra Padilla
(Kolombia).
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyambut
gembira atas penghargaan Goldman Enviromental Prize 2013 kepada Aleta
Ba’un yang biasa dikenal dengan Mama Aleta itu. Anggota Dewan AMAN
Nasional (DAMANAS) mewakili Region Bali Nusa Tenggara (Bali Nusra) itu
terpilih melalui penjurian internasional berdasarkan nominasi rahasia
oleh suatu jaringan kerja berbagai organisasi dan para penggiat di
bidang lingkungan hidup.
“Saya gembira, ini penghargaan yang
pantas buat Mama Aleta. Beliau merupakan Perempuan Adat yang menjadi
pemimpin dan memilih menggerakkan perempuan di tengah struktur sosial
yang lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki," kata Sekretaris
Jenderal AMAN, Abdon Nababan, secara tertulis ke VIVAnews.
Menurut
Abdon, Mama Aleta berhasil menggerakkan Masyarakat Adat Mollo untuk
kembali percaya pada kekuatan ritual sebagai media yang mempersatukan
perjuangan bersama antara masyarakat adat dengan para leluhurnya, salah
satunya melawan agresi pembangunan yang masuk dalam bentuk tambang
marmer.
"Saya juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga
Goldman karena ini kali ketiga pemimpin pergerakan Masyarakat Adat
Nusantara menerima Goldman Environmental Prize. Sebelumnya dimenangkan
oleh Bapak (alm) Loir Botor Dingit, Kepala Adat Besar Masyarakat Adat
Dayak Bentian dari Kalimantan Timur pada tahun 1997 dan Mama Yosepha
Alomang dari Orang Amungme di Papua pada tahun 2001," katanya.
Di Kaki Gunung Mutis NTTAleta
lahir dari keluarga petani di kaki Gunung Mutis, Timor, Nusa Tenggara
Timur. Di usia muda, dia kehilangan ibunya sehingga dia dibesarkan
perempuan lain di sukunya, Suku Mollo.
Sebagai seseorang yang
hidupnya dibentuk oleh nilai-nilai dari tetua suku, Aleta menjadi
pemimpin di komunitasnya, sehingga lama-lama dikenal sebagai Mama Aleta.
Seperti dilansir laman Goldman Prize, Suku Mollo berabad-abad bertahan
hidup dari keanekaragaman hayati di Gunung Mutis yang disakralkan.
Mereka mengumpulkan makanan dan obat-obatan dari hutan, menanam di tanah
subur dan menenun baju dari serat alami.
Perjuangan Mama Aleta
telah dimulai pada 1990-an ketika Gunung Batu Anjaf dan Nausus mulai
dirambah industri tambang dan industri kehutanan. Gunung Batu Anjaf
untuk dikeruk (dibelah) dan diolah menjadi batu marmer. Batu, bagi orang
Timor adalah batu nama. Nama marga ada pada batu-batu itu. Kalau batu
nama itu dihilangkan, maknanya sama dengan menghilangkan identitas orang
Timor.
Dia pun bertindak, menyatukan komunitas untuk sama-sama
menolak upaya korporasi itu demi mempertahankan identitas Suku Mollo.
Keinginannya sederhana, agar masyarakat setempat tidak kehilangan sumber
pangan, identitas dan budaya daerah
Perjuangan Mama Aleta dan
Masyarakat Adat Mollo selama 11 tahun mulai membuahkan hasil pada 2007,
dengan dihentikannya operasi tambang di daerah tersebut. Mama Aleta
secara damai menduduki tempat-tempat penambangan marmer dengan aksi yang
disebut "protes sambil menenun." Perusakan tanah hutan yang sakral di
Gunung Mutis, Pulau Timor akhirnya bisa dicegah.
Kegigihan
perempuan kelahiran Lelobatan, Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa
Tenggara Timur, 16 Maret 1963 itu mempertahankan tanah leluhurnya dan
membangun solidaritas dan menjadi inspirasi bagi kaum tani dan
masyarakat adat, khususnya kaum perempuan adat, telah membawanya meraih
penghargaan lingkungan hidup "Goldman Environmental Prize 2013".
"Kita
sangat berterimakasih mendapatkan seorang Ibu di Pegunungan Timor
sebagai kebanggaan Indonesia. Penghargaan ini merupakan bentuk
penghargaan atas semua perjuangan ibu-ibu petani dan Masyarakat Adat
Nusantara yang Mama Aleta wakili sebagai pahlawan dalam pertahanan
budaya, pangan, penghidupan berkelanjutan, pemeliharaan dan pengelolaan
alam.
Ternyata perjuangan
beliau dihargai oleh dunia luas lingkungan hidup,” kata Antoinette G.
Royo, Direktur Eksekutif Samdhana Institute. Lembaga pendukung dan
pengusul Mama Aleta ke Goldman Environment Prize.
Didirikan sejak
1989 oleh beberapa tokoh masyarakat seperti Richard dan Rhoda Goldman
dari San Francisco, Goldman Enviromental Prize saat ini memasuki tahun
ke-24. (ren)