Oleh : Slamet Haryono (412000011)
I. PENDAHULUAN
Setelah separuh abad lebih Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, muncul suatu pertanyaan mendasar “ Apa sajakah yang telah dihasilkan dari kemerdekaan selama ini
?’. Sebagian orang pasti akan menjawab “ Pembangunan “, dengan
memberikan berbagai contoh seperti banyaknya gedung-gedung dan listrik
masuk desa. Memang sangatlah mudah untuk mengatakan keberhasilan
pembangunan dengan tolok ukur bangunan fisik yang tampak oleh kasat
mata, namun demikian terdapat suatu kesulitan yang sangat manakala kita
harus menilai keberhasilan pembangunan dengan tolok ukur lainnya,
seperti perubahan pola pikir mayarakat, mentalitas, budaya, serta
semangat nasionalisme. Sehingga tidaklah mengherankan jika pembangunan
yang telah dijalankan selama ini justru menyisakan setumpuk permasalahan
mentalitas, moralitas, loyalitas dan permasalahan budaya. Sebagai
contoh akhir-akhir ini seringkali terjadi pertikaian antar kelompok
dengan isu SARA[1], korupsi dimana-mana, meningkatnya angka kriminalitas dan lain sebagainya.
Sementara itu Jepang salah salah satu
negara kecil dengan cepatnya menjadi raksasa di Asia. Tidak hanya Jepang
negara-negara di Asia lainya juga mengalami kemajuan pembangunan yang
pesat seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dengan melihat
kemajuan pembangunan masyarakat Jepang khususnya, menjadi suatu daya
tarik tersendiri mengingat sebelum tahun 1855[2]
Jepang masih merupakan negri yang terbelakang dan tertutup. Dalam
perkembangan selanjunya tiba-tiba pada awal abad ke 20 Jepang menjadi
negara yang di takuti oleh pihak sekutu, karena Jepang melakukan
ekspansi besar-besaran di Asia. Selama masa ekspansinya tersebut,
Indonesia juga menjadi salah satu korbannya. Baru setelah dijatuhkannya
bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 Jepang mulai
menarik pasukannya. Bisa di banyangkan berapa kerugian yang di derita
Jepang dengan kekalahan perangnya, tidak hanya materi namun juga
mentalitas bangsa Jepang.
Melihat fenomena di atas kembali memunculkan pertanyaan baru “ada apakah dibalik semua ini ?” apakah peristiwa-peristiwa di tanah air terjadi dengan begitu saja, adakah suatu penjelasan yang masuk akal untuk ini ? kemudian bagaimana jadinya setelah ini ? apa sajakah yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya
?. Dengan berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan tersebut, melalui
makalah ini akan dipaparkan kilasan potret Indonesia sebelum merdeka,
setelah merdeka, serta kesempatan yang ada setelah pemerintahan presiden
Megawati Soekarno Putri dengan referensi pada negara Jepang.
II. KAJIAN PSIKOLOGI BUDAYA
A. Pra Kemerdekaan
Konteks budaya yang dimaksud adalah
budaya dalam arti yang lebih sempit, yaitu budaya dalam pengertian
sebagai suatu pola umum pemikiran dan kejiwaan masyarakat Indonesia.
Pola pikir masyarakat Indonesia saat itu adalah cenderung untuk berdamai
dan tidak suka keributan, jujur dan penurut. Di sisi lain orang-orang
yang mendiami wilayah Indonesia berasal dari beragam suku dan etnis yang
tentunya masing-masing kelompok tersebut mampunyai suatu sifat yang
khas. Berbagai aliran kepercayaanpun turut mewarnai masing-masing
kelompok. Sementara itu masyarakat Jepang lebih homogen dengan semangat
kerja keras, keuletan, disiplin, pelayanan dan menjunjung tinggi suatu
kehormatan. Satu hal yang sama adalah adanya kesamaan dalam model
pemerintahan yang dijalankan yaitu kekuasaan penuh di tangan raja.
Nampaknya kondisis inilah yang melatar belakangi Belanda untuk
menggunakan siasat devida et impera untuk dapa menguras
kekayaan di Indonesia. Semasa itu imperial barat tiadaklah melihat
Jepang sebagai suatu daerah yang potensial untuk melebarkan
kekuasaannya, mengingat sumberdaya alam di sana sangat sedikit. Di
kemudian hari dengan adanya penjajahan oleh Belandalah yang menyebabkan
perbedaan yang sangat jauh antara Indonesia dengan Jepang.
Pada akhir masa pendudukan kolonial
Belanda telah muncul benih-benih nasionalisme yang dipelopori oleh
perkumpulan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Perkembangan selanjutnya
bermunculan kelompok-kelompok yang secara tegas mengiginkan adanya
kemerdekaan. Pada masa ini tampak sekali adanya suatu titik kejenuhan
yang sangat dengan segala bentuk penjajahan. Kondisi ini semakin memanas
manakala Jepang memulai ekspansinya, terlihat banyak organ pergerakan
yang dilarang keberadaanya oleh pihak penguasa. Sebelum masa ini
masyarakat Indonesia berada dalam kondisi keterbelakangan, dan wabah
penyakit ada di mana-mana. Kondisi yang hampir sama juga terjadi di
Jepang sebelum masa Restorasi Meiji[3].
Hanya saja di Jepang tidaklah mendapat tekanan yang kuat dari bangsa
lain, konflik yang terjadi adalah konflik antar klan. Sementara itu di
Indonesia konflik yang terjadi adalah persaingan dagang dari pengusaha
pribumi[4] dan asing dan konflik antara tuan tanah dengan buruhnya[5].
Selama Jepang berkuasa hampir dapat
dikatakan pergerakan secara terbuka mati. Baru kemudian setelah
peristiwa pemboman di Hiroshima dan Nagasaki oleh sekutu, pemuda
Indonesia melihat adanya suatu kesempatan yang sangat besar untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Oleh karena euforia berita
kekalahan Jepang oleh sekutu membangunkan setiap jiwa pemuda di tanah
air untuk bersatu padu untuk memerdekakan diri. Pada masa ini jelas
sekali tingginya semangat berkorban untuk memperoleh suatu kemerdekaan,
mengingat mereka sama-sama mengalami pahitnya penjajahan. Masing-masing
daerah dengan penuh kesadaran mengabungkan diri dalam Republik Indonesia
Serikat, termasuk di dalamnya daerah-daerah yang masih memiliki
kedaulatan penuh seperti Yogyakarta.
Selama masa penjajahan, masyarakat di
nusantara tidak mendapat kesempatan untuk dapat mengekspresikan diri,
baik dalam budaya, pola pikir, seni dan lain sebagainya. Masyarakat awam
yang tidak mengenyam pendidikan mendapat suatu pengajaran secara
langsung dari para penjajah, bahwa kekuasan dan kemewahan dapat
menempatkan meraka pada posisi yang aman meskipun untuk itu mereka harus
menjilat kepada penjajah. Pemikiran-pemikiran gaya feodal sangat
mendominasi dalam penentuan tolok ukur untuk menentukan posisi
masyarakat, contoh nyata dari ini adalah dengan adaya pembagian kelas
mayarakat yang mendiami Hindia Belanda.
B. Masa Setelah Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
belumlah leluasa untuk mengekspresikan jati dirinya mengingat
bayang-bayang pemerintahan Belanda masih mengincar negri ini[6].
Cekaman masa lalu gaya feodal masih teringat jelas dalam setiap
pemikiran warga Indonesia. Semangat borjuasi tuan tanah yang selama masa
penjajahan terkekang nampaknya mendapatkan angin segar pada masa
setelah kemerdekaan. Memang pada masa ini belumlah terlalu kelihatan,
tetapi nanti setelah masa pemerintahan Soeharto akan nampak jelas
sekali. Dengan strategi ekonominya yang membangun beberapa perusahaan
raksasa yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung perekonomian
justru menjadi penjajahan yang halis oleh bangsa sendiri. Sungguh malang
nasib masyarakat bangsa ini yang hanya mendengar kabar kemerdekaan dan
tidak pernah merasakannya bahkan penderitaanya semakin menjadi oleh
penjajah dari negri sendiri.
Budaya feodal tersebut yang meletakkan
nilai nilai kemanusiaan berdasarkan kelas sosial, sehingga kelimpahan
materilah yang dipakai untuk menaikkan statusnya tersebut. Hal inilah
yang menyebabkan selama pemerintahan Soeharto terjadi korupsi
dimana-mana. Strategi pembangunan yang dipakaipun tidak lepas dari
pembangunan sarana fisik mulai dari jembatan, bendungan, listrik dan
tempat ibadah. Simbol-simbol tersebut yang dipakai sebagai gagah-gagahan
keberhasilan pembangunan. Meskipun yang terjadi di balik itu adalah
upaya untuk dapat menyisihkan hak-hak rakyat untuk menikmati kemerdekaan
dengan megaproyek[7]
yang di danai dari utang luar negri. Demokrasi yang digembar-gemborkan
hanyalah slogan belaka, mengingat masyaraakat yang cukup vokal
mengkritik kebijakkannya akan direpresi oleh pihak militer dan tak
segan-segan dicap sebagai antek-anteknya PKI. Lebih parah lagi mega
proyek tersebut hanya berputar di Jawa saja, yang di kemudian hari
menyebabkan adanya upaya pemerdekaan wilyah[8]
oleh karena ketimpangan sosial tersebut. Sementara itu kekakyaan alam
mengalir deras ke luar negri tanpa diketahui kemana perginya uang itu.
Di sisi lain terjadi suatu pembodohan terstruktur dengan sistem
pendidikan yang ada, dimana penguasa tidak menghendaki adanya generasi
muda yang cerdas dan vokal. Barangkali yang cerdas tetap ada namun tidak
lagi vokal yang kemudian dapat dipakai sebagai alat untuk terus memupuk
rezim itu. Kecerdasan yang dimiliki adalah kecerdasan tanpa mentalitas
yang kuat yang dikemudian hari hanya dipakai untuk mengakali bangsanya
sendiri. Oleh karena itu tidaklah heran jika di Indonesia terjadi banya
pemalsuan dan pembajakkan. Bagaimana hal itu tidak terjadi
penguasa-penguasa yang melahirkan kebijakan tentang pembentukan moral[9] bangsa justru memberikan contoh yang keliru melalui prktek-praktek KKN[10].
Strategi yang dipakai Oleh pemerintahan Soeharto tak jauh beda dengan
gaya kolonial yaitu dengan represi mliliter dan kapitalis.
Konflik yang terjadi setelah proklamasi
kemerdekaan mejadi semakin rumit, mulai dari perbedaan ideologi sampi
kepada upaya pemerdekaan diri. Dalam sejarahnya Indonesia seringkali
terjadi berbagai pemberontakan dengan maksud permerdekaan daerah
tertentu seperti DI/TII, PRRI Permesta, RMS, dan akhir akhir ini adal
GAM di Aceh dan OPM di Papua. Selain dari pada itu pada masa setelah
Soeharto Justru terjadi banyak sekali kerusuhan yang bersifat SARA
seperti yang terjadi di Sampit, Poso, Ambon dan kerusuhan Mei 1998.
Sementara itu di Jepang yang sama-sama
bangkit dari keterpurukkannya akibat perang, justru saling bahu membahu
membangin negrinya kembali. Dengan semangat kerja yang tinggi dan
kedisiplinan yang dimiliki sehingga tidaklah mengejutkan manakala dua
tahun setelah itu Jepang justru mengalami kenaikan pertumbuhan industri
yang sangat tinggi melebihi sebelum masa perang. Sepintas kemajuan
Jepang hanya sekedar kebetulan, kebetulan karena tidak dijajah,
kebetulan lebih homogen. Namun itu semua bukanlah alasan, semangat
nasionalisme Jepang begitu tinggi mengalahkan kepentingan pribadi,
sementara itu bangsa Indonesia lebih mengutamakan keunggulan yang
mewakili kelommpok, suku atau daerah tertentu. Semangat Nasionalisme dan
kebangsaan hanyaa tinggal sejenak selama masa pengusiaran penjajah,
setelah itu kembali bergegas memperkaya diri untuk dapat unjuk muka pada
kelompok lain.
Strategi pembangunan Jepang adalah dengan
mengutamakan penciptaan tenaga ahli, hal ini terbukti dengan misi
pengiriman ke luar negri yang dimulai sejak 1860 yang jumlahnya terus
bertambah sejak saat itu. Setelah mempunyai cukup keahlian mereka
kembali ke Jepang dan menerapkannya di negri itu. Untuk menopang
kelancaran pembangunan di sana pihak pemerintah semakin meningkatkan
sarana transportasi, selain untuk meningkatkan pemerataan pembangunan
juga digunakan untuk mengangkut hasil produksi masing-masing daerah.
Dengan semakin majunya pembangunan di
Jepang jarang sekali terjadi konflik SARA yang terdengar. Dengan kata
lin bahwa kesadaran masyarakat Jepang akan pentingnya kehidupan bersama
sangatlah penting sekali dalam rangka menopang kelangsungan hidup
bangsanya ditengah persaingan Internasional.
III. KESEMPATAN TERSISA SETELAH PEMERINTAHAN MEGA
Berdasarkan ulasan di atas terdapat suatu
benang merah yang dapat dipakai untuk memotret keberadaan Indonesia.
Dan nampaknya jika potret itu dipampang berdampingan dengan potret
negara Jepang tampak sekali terdapat perbedaan seperti halnya potret
hitam putih dengan potret berwarna. Permasalahan-permasalahan yang harus
segera mendapatkan prioritas untuk segera ditangani adalah masalah
keutuhan bangsa ini. Hal ini patut menjadi sorotan utama mengingat jika
terjadi pelepasan satu wilayah saja, tidak menutup kemingkinan bahwa
Indonesia dapat terpecah menjadi beberapa negara. Hal ini tentunya
sangat tidak diharapkan. Dengan kondisi negara yang utuh saja masih
belum dapat mengimbangi pengaruh globalisasi dari luar apalagi terpecah
menjadi negara-negara kecil. Hal ini tentunya sangat diharapkan oleh
negara-negara barat. Tentunya kita jangan mudah terkeceoh dengan adanya
bantuan dari barat yang mengatas namakan hak asasi manusia untuk
menuntut kemerdekaan. Bukankah sejarah telah mencatat bahwa kehadiran
Jepang pada awal mulanya adalah mngaku sebagai saudara tua yang juga
menjanjikan kemerdekaan
Masalah kedua adalah masalah keamanan dan
stabilitas dalam negri. Masalah ini sangat terkait dengan masalah yang
pertama hanya saja diutamakan pada pelayanan keselamatan setiap warga
negara dalam melukan aktifitasnya. Sudah waktunya bagi TNI dan POLRI
untuk membuktikan kemampuannya dalam menjaga stabilitas dan HanKamNas
dan tidak lagi digunakan hanya sebagai alat represi dan
menghambur-hamburkan anggaran negara. Peran serta mereka tentunya
sangatlah diharapkan oleh masyarakat yang akhir –akhir ini cenderung
berlaku anarkhis, irasional[11]
dengan mentalitas yang semakin bobrok. Kerja mereka akan mejandi
optimal dengan adanya kolaborasi yang baik dengan aparat penegak hukum
lainnya sepertei kejaksaan dan tetunya harus diimbagi oleh adanya iklim
hukum yang sehat.
Masalah ketiga yang cukup penting
sekaligus dapat menjadi suatu solusi yang mujarab untuk mengatasi
berbagai permasalahan di negri ini adalah pendidikan. Memang dibutuhkan
danan yang sangat banyak dan juga termasuk investasi jangka panjang
untuk dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Memang agak berat untuk
dapat memebaskan biaya pendidikan dari sekolah darasr hingga SLTA, namun
menurut hitungan kasar seorang pengajar dari FE UKSW bahwa jika subsidi
untuk BBM dipakai untuk membiayai pendidikan dari SD sampai SLTA masih
ada sisa. Alternatif kedua adalah dengan membuat satu sekolah rakyat
pada satu wilayah tertentu (misalnya satu kabupaten) pada tingkat SLTP
dan SLTA dimana terdapat siswa siswa yang berpotensi dan tanpa
dikenakan biaya pendidikan. Untuk pendidikan di level SD ataupun
perguruan tinggi dapat disesuaikan dengan model serupa. Tentunya dengan
format pendidikan yang lain pula. Dan tanpa biaya sunat[12].
Masalah ke empat adalah masalah
pengentasam kemiskinan. Hal ini terkait erat dengan kehidupan
perekonomian di negara ini. Dan untuk melaksanakannya tidaklah semudah
diucaapkan seperti yang terjadi dalam kampanye calon presiden, mengingat
untuk mengangkat kaum miskin berarti pemerintah mengarapkan terjadinya
permerataan[13].
Namu demikian kondsi ini tidaklah demikian diharapkan oleh pelaku
industri, dimana peningkatan kualitas kehidupan dan kecerdasan kaum
bawah yang notabene banyak sebagai buruh akan dapat menghabat produksi
dan mengurangi pendapatan[14].
Arah kebijakan perekonomian kerakyatan tampaknya lebih teepat untuk
negri ini dan akan sekanin baik jika diimbangi oleh pemanfaatan
teknologi secara bijak.
Masalah ke lima adalah perlunya penataan
kembali kehidupan sosial budaya bangsa ini. Nampaknya dibutuhkan
kebesaran jiwa untuk mengakui keunggulan kelompok, suku atau daerah
lain, sehingga tidaklah lagi bersaing untuk menunjukkan ssiapaakah yang
paling unggul. Akulturasi budaya antar susku dan etnis dinanah air dapat
menjadi salah satu alternatif jalan damai. Dan bilamana perpaduan itu
telah menjadi sedemikian rupa maka niscaya akan berkurang
konflik-konflik SARA. Kemampuan para pejabat dan penguasa negara untuk
terjun kebawah dan tidak berkutat pada masalah biroktrasi dapat menjadi
katarsis[15] selama pemulihan berlangsung.
IV. CATATAN AKHIR- Sifat mendasar masyarakat Indonesia adalah suka berdamai, jujur dan penurut. Sementara itu masyarakat Jepang adalah pekerja keras, ulet, disiplin, pelayanan yang baik serta menjunjung tinggi kehormatan. Kesamaan antara Jepang dan bangsa-bangsa di Indonesia saat itu adalah pada sistem pemerintahan yang monarki absolut.
- Sebelum masa kemerdekaan kondisi masyarakat Indonesia secara umum hampir sama dengan masyarakat Jepang sebelum kedatangan Commodor Perry. Perbedaannya adalah terletak pada sumber konflik, di Jepang adalah konflik internal antar klan sedangkan di Indonesia adalah konflik persaingan dagang dengan pengusaha asing serta konflik majikan buruh.
- Konflik-konflik yang terjadi setelah masa kemerdekaan justru menjadi semakin berfariasi, namu demikian konflik dengan upaya untuk memebntuk negara baru terus terjadi mulai dari awal kemerdekaan sampai kepada saat ini.
- Orientasi Pembanguanan Indonesia yang terarah pada sektor materiel namapaknya membawa dampak yang kurang baik dalam rangka menciptakan bangsa yang tangguh untuk menghadapi tantangan globalisasi.
- Sklala prioritas yang dapaat dipakai untuk mempertahankan negri ini adlah mempertahankan keutuhan bangasa, menjamin stabilitasn dan keamanan nasional, pendidikan, pengetasan kemiskinan, penataan kembali kehidupan sosial budaya.