Kaum Miskin Indonesia

Kaum Miskin Indonesia
Perjuangan kita tak akan sia-sia. Asalkan kita tahu dari mana kita berasal (diktum sokrates), dan kemana tujuan kita (aquinas), serta dimana kita akan berhenti (Honing A Bana).

Kamis, 22 November 2012

Berdikari ala bung karno

Berdikari : Intisari Revolusi Indonesia Yang Belum Selesai February 7, 2012


Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.
(Pidato HUT Proklamasi 1963)
Apa arti sebuah nama, demikian ungkap William Shakespeare, sastrawan terbesar Inggris. Tapi siapa yang dapat memungkiri, takdir sejarah yang melekat pada diri Bung Karno, Proklamator, Pemimpin Besar Revolusi dan sekaligus Presiden pertama RI. Ketika rakyat merindukan pemimpin yang mampu mengangkat martabat dan derajat bangsanya sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, maka nama Bung Karno kembali disebut dan dirindukan kehadirannya untuk kembali membawa rasa “bangga menjadi bangsa Indonesia”.

Dalam usia negara kita yang masih muda, nama harum Indonesia dan Bung Karno, tersohor sampai jauh ke pelosok manca negara dan bahkan Indonesia menjadi salah satu negara yang diperhitungkan dalam kancah politik internasional. Pada Tahun 1960, dunia internasional menjadi terpana ketika sosok pemimpin sebuah negara yang baru merdeka, berbicara dengan sangat mengesankan pada Sidang Umum PBB ke XV di New York pada tanggal 30 September 1960, Bung Karno dengan penuh percaya diri menyampaikan pidato yang sangat legendaris yaitu: to Build the World on a New, menyerukan pada dunia untuk mengakhiri pertikaian antara Blok Barat (Kapitalisme) dan Blok Timur (Komunisme). Para pemimpin Dunia harus mengakhiri perang dingin dengan membangun tata dunia baru berdasarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi  Kerakyatan dan Kesejahteraan Sosial yang disebut oleh bangsa Indonesia sebagai Pancasila. Sungguh luar biasa dampak Pancasila pada waktu itu, tidak hanya bagi bangsa Indonesia tetapi juga bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Pada kesempatan ini, Bung Karno menyerukan “kekuatan dunia baru” untuk bangkit menuju tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang, melampaui dominasi negara besar dunia yang terbagi dalam blok barat dan blok timur. Dan untuk mewujudkan seruan tersebut, Indonesia bertemu dengan kepala pemerintahan Ghana, India, Mesir dan Yugoslavia guna mepersiapkan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok yang pertama di Beograd, Yugoslavia pada tahun 1961.
Gerakan politik internasional Bung Karno tidak hanya berhenti disitu, dalam kurun waktu 1962 hingga 1965 Bung Karno terus melancarkan gerakan politik internasionalnya yang anti imperialisme. Di tahun 1962, dalam pelaksanaan Asian Games, Indonesia melarang keikutsertaan Taiwan dan Israel yang berbuntut diskorsnya Indonesia pada Asian Games 1964 di Tokyo. Sebagai bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan komite olimpiade internasional (KOI) kala itu, pada tahun 1963 Bung Karno mengadakan GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan merencanakan diadakanannya CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) yang akan dilaksanakan pada tahun 1966. Di tahun 1963, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan malaysia sehubungan pembentukan federasi Malaysia yang mencakup daerah-daerah bekas jajahan Inggris di Kalimantan Utara, pemutusan hubungan diplomatik ini dilanjutkan dengan gerakan “Ganyang Malaysia” yang diserukan oleh Bung Karno dan berakhir dengan sikap politik Indonesia yang keluar dari PBB. Semua gerakan sikap politik internasional yang dilakukan dan dijalankan oleh Bung Karno kala itu memiliki salah satu tujuan yakni menjadikan Indonesia sejajar dan berdiri sama tegak diantara bangsa-bangsa lain serta menjadikan Indonesia menjadi bangsa mandiri yang berdiri diatas kakinya sendiri.
Ketika kita memimpikan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar, bangsa yang sejajar dan berdiri tegak diantara bangsa-bangsa lain dengan prasyarat utamanya memiliki kedaulatan, kemandirian dan kepribadian sebagai sebuah bangsa. Maka tidak dapat disangkal lagi, kita akan menengok kembali pada Bung Karno, membongkar perpustakaan, menggali referensi dan dalam perkembangan teknologi informasi sekarang ini menjelajah dunia maya (cyberspace) dengan sarana pencarian Google, maka setiap dituliskan kata “kemandirian bangsa” sebagai kata kunci, pastilah akan mentautkan nama Bung Karno, Sang Pemimpin Besar Revolusi di ribuan artikel tulisan yang bersumber dari dalam negeri dan mancanegara.
Dalam berbagai pidato maupun pemikiran-pemikiranya yang diterbitkan dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Bung Karno selalu menekankan hakikat kemerdekaan dan pentingnya membangun kemandirian bangsa. Untuk mampu menjadi bangsa yang besar dan bangsa yang berdiri tegak dan sejajar dengan bangsa lain, Bung Karno selalu menekankan pentingnya kemandirian suatu bangsa. Konsepsi-konsepsi pemikiran Bung Karno tersebut termanifestasi dalam politik berdikari yang dia jalankan dan terus didengung-dengungkan. Dalam pidato peringatan 17 Agustus 1964 yang diberi judul “Tahun Vivere Pericoloso” atau lazim disebut Tavip, Bung Karno kembali mempertegas arah Revolusi Nasional bangsa Indonesia yang disebut dengan Tri Sakti, yaitu: berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga prinsip itu tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena ketiga-tiga merupakan dialektika dari amanat penderitaan rakyat (ampera). Konsepsi inilah yang menjadi terjemahan dari sikap politik berdikari yang dimaksud oleh Bung Karno. Sikap politik berdikari (Politik Berdikari) ini semakin populer setelah Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1965 menegaskan kembali konsepsi berdikari dengan memberi judul pidatonya “Tahun Berdikari”.  Dalam berbagai kesempatan tersebut Bung Karno mengungkapkan bahwa kedaulatan politik dan berkepribadian dalam kebudayaan tidak mungkin dapat diraih bila tidak berdikari dalam ekonomi. Begitu pula dengan kemandirian ekonomi tidak dapat dilaksanakan bila bangsa kita tidak mempunyai kedaulatan secara politik dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Kedaulatan politik, dalam hal ini adalah kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah jembatan emas untuk menuju kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa. Dengan kemerdekaan –dalam arti yang hakiki adalah kedaulatan politik dan teritorial sebagai negara bangsa– maka kita tidak mau didikte oleh negara dan bangsa manapun di dunia ini. Kita berdiri sama tegak dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia untuk membangun sebuah peradaban dunia yang didasarkan pada perdamaian abadi dan keadilan sosial. Konsistensi pada cita-cita kemerdekaan inilah yang membuat Bung Karno keras hati dalam menentang setiap intervensi negara-negara neo kolonialisme imperialisme (nekolim).
Dalam kepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya kita kaya raya yang harus digali dan pentingnya nilai-nilai kepribadian bangsa dalam kebudayaan. Pada tahun 1960-an Bung Karno dengan tegas melarang peredaran lagu-lagu dari Barat yang dia sebut sebagai musik “ngak ngik ngok”, the beatles, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan dan bahkan melarang lagu-lagu koes bersaudara dan elya agus. Menurut Bung Karno, musik dan produk kapital imperialis itu akan melemahkan semangat juang pemuda, menghancurkan kepribadian bangsa dan Bung Karno juga meminta kepada pemuda untuk terus giat bekerja.
Dalam konteks berdikari dalam ekonomi, Bung Karno megutarakan bahwa bangsa Indonesia harus bersandar pada kekuatan, dana, tenaga yang memang sudah dimiliki dan sudah ditangan kita yang digunakan semaksimalnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam rancangan pembangunan ekonomi yang termanifestasi dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon), Bung Karno menempatkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial dan sumber daya ekonomi dalam pembangunan. Dalam Dekon Bung Karno mengatakan “ dalam melaksanakan revolusi di bidang sosial dan ekonomi selanjutnya, maka -sesuai dengan hukum revolusi- kita harus mempergunakan sepenuhnya semua alat revolusi yang sudah kita miliki itu, dengan selalu melandaskan perjuangan kita pada potensi dan kekuatan rakyat”. Penegasan Bung Karno ini merupakan sebuah bentuk sikap dan terjemahan dari konsepsi politik berdikari, meletakkan potensi dan kekuatan rakyat Indonesia didalam menjalankan perencanaan pembangunan dan perekonomian.
Selain itu, Bung Karno mengecam keras cara-cara text books yang dia sampaikan pada pidato tavip “Dan itu karena apa? Karena banjak pemimpin kita, -  malah terutama sekali pemimpin-pemimpin jang memakai tiel mr, atau dr, atau ir lho ! tidak mengarti arti daripada Revolusi Modern dalam bagian  kedua dari abad ke-XX, jaitu zamannja imperialisme modern dan kapitalisme monopoli.  Mereka, pemimpin-pemimpin itu, mengira bahwa revolusi hanjalah: merebut kemerdekaan, menjusun Pemerintah Nasional, mengganti pegawai asing dengan pegawai bangsa sendiri, dan seterusnja ; menjusun segala sesuatunja menurut tjontoh-tjontoh Barat jang tertulis dalam merekapunja texbooks. Malah kita ditjekoki oleh pemimpin-pemimpin sematjam , bahwa “revolusi sudah selesai”, dan bahwa “kolonialisme-imperialisme sudah mati” !”. Bung Karno mengecam cara-cara text books yang mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi barat tanpa mempertimbangkan dan melihat kondisi realitas bangsa Indonesia dan cara-cara text books yang mencoba menghipnotis bangsa Indonesia bahwa kolonialisme-imperialisme sudah mati sehingga bangsa Indonesia melupakan roh dari berdikari itu sendiri.
Terkait kerjasama dengan negara-negara imperialis, Bung Karno dengan tegas menolak dan mengatakan “Go to hell with your aid”. Pernyataan tegas Bung Karno ini sering kali diartikan sebagai sikap anti Bung Karno terhadap bantuan asing, modal asing bahkan semua yang berkaitan dengan kerjasama asing. Bung Karno tidak anti kepada bantuan asing, modal asing maupun kerjasama dengan asing, tetapi Bung Karno anti kepada semua yang berbau asing tersebut jika memiliki tendensi politik yang ingin mendikte Indonesia, sebagaimana sikap Bung Karno menolak bantuan pembangunan semanggi dari Amerika Serikat yang memiliki prasyarat bahwa Indonesia harus mengikuti kebijakan politik Amerika. Bung Karno menginginkan dalam menjalankan pembangunan nasional, pembangunan tersebut memiliki prinsip yang tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Pembangunan tersebut harus bersandar pada jiwa “self reliance”, jiwa percaya kepada kekuatan diri sendiri dan jiwa “self help”, berdiri diatas kaki sendiri. Sikap Bung Karno ini bukanlah sikap yang anti bantuan, modal dan kerjasama asing, akan tetapi lebih pada penanaman sikap kemandirian dan manifestasi politik berdikari yang ingin dicapai oleh Bung Karno. Bung Karno tidak mengharamkan bantuan, modal dan kerjasama asing, tetapi lebih kepada menerima bentuk bantuan, modal dan kerjasama asing  yang tidak bertentangan dengan arah politik dan tujuan revolusi nasional serta berdasarkan sama derajat dan saling menguntungkan. Hal ini terlihat pada kutipan Bung Karno dalam pidato Nawaskara “ …adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan” dan hal ini juga termaktub dalam Dekon yang menyatakan bilamana dengan kekuatan fund and forces nasional tidak mencukupi, maka harus dicarikan kredit luar negeri yang tidak bertentangan dengan politik kita.
Sikap politik berdikari ini ditegaskan kembali oleh Bung Karno dalam pidatonya di depan Sidang Umum IV MPRS tanggal 22 Juni 1966, yang diberi judul “Nawaksara” dan pidato ini merupakan pidato terakhir Bung Karno mengumandangkan dan mengingatkan kembali pentingnya berdikari. Dalam pidato tersebut Bung Karno kembali menegaskan tiga hal yang menjadi intisari revolusi Indonesia, yaitu : Pertama, bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya. Kedua,bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongannya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja.  Ketiga, bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!
Lebih lanjut Bung Karno menekankan bahwa dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajurit prajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini.Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari.
Dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang menjadi dasar kebijakan Pembangunan semesta berencana dinyatakan bahwa: “Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan”
Konsepsi Politik Berdikari yang digagas,dikumandangkan dan dijalankan oleh Bung Karno, Sang Pemimpin Besar Revolusi, juga diakui oleh B.J Habibe,  mantan Presiden RI ke-3,  yang menjadikan dirinya berkarya di bidangnya sains dan teknologi. Karena amanat Bung Karno itulah,  agar Indonesia mampu berdikari maka sejak 1950 putra-putra terbaik Indonesia dikirim ke Belanda untuk belajar tentang industri perkapalan dan dirgantara. “Saya masuk angkatan kelima yang dikirim ke Belanda. Di sana kami belajar bagaimana bisa membuat pesawat dan kapal. Ini agar Indonesia tidak mengimpor kapal maupun pesawat terbang. Bung Karno ingin, kita menjadi negara mandiri,” tutur Habibie. (RAS)
dikutip dari : Indonesia tanah air beta

Tidak ada komentar: