Pancasila lahir
pada pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 dalam rapat BPUPKI membahas tentang
pembentukan Negara Indonesia yang merdeka. Pancasila adalah falsafah
Negara; pondasi; yang diistilahkan bung Karno sebagai “weltanschauung”.
Corak kebangsaan, yang tak pernah akan berubah dan selalu begitu adanya.
“Pancasila” adalah salah satu pilihan diantara 3 nama corak kebangsaan
itu. Dua lainnya adalah “Gotong Royong” dan “Trisila”. Kebersatuan,
bukan kesatuan!!
</div.
Jika sekarang ini
Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal, sama halnya dengan
“mendustai” hakekat Pancasila itu sendiri. Pancasila, sekali lagi,
adalah kegotongroyongan; kebersatuan; kebersatuan; dimana perbedaan
menjadi kekayaan, bukan menjadi kelemahan. Sejak dari dulunya, bukan
Pancasila yang mengajarkan kepada kita tentang phobia terhadap
perbedaan.
Pancasila yang
saya pelajari di bangku sekolah dan kuliah, sama sekali berbeda dengan
maksud yang dikandung dalam pidato Bung Karno dihari kelahiran Pancasila
itu. “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjadi ekspresi bahwa eksistensi
Indonesia mustahil tanpa Rahmat Tuhan, diterjemahkan oleh orde baru
menjadi agama hanya 5 di Indonesia; yang selain itu dinamakan
kepercayaan. “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” yang ditranslasi dari
“Internasionalisme/Perikemanusiaan”, sebagai tekad bangsa Indonesia
untuk berperan aktif membebaskan dunia dari penjajahan dan penindasan,
diterjemahkan orba sebagai perilaku saling mengasihi sesama manusia
dengan pendangkalan pemahamannya. “Persatuan Indonesia” dari asalnya
“Kebangsaan Indonesia” yang merupakan cermin Kebersatuan daerah-daerah
yang beraneka-ragam adat-istiadatnya sebagai kekuatan nasional,
diterjemahkan sebagai keharusan menjunjung tinggi rezim pemerintahan
dengan dalih kepentingan stabilitas keamanan nasional. “Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”
yang ditranslasi dari “Mufakat/Demokrasi” sebagai ekspresi demokrasi
kegotongroyongan dalam masyarakat Indonesia untuk mencapai mufakat,
diterjemahkan orba menjadi demokrasi kapital; demokrasi berdasarkan
siapa yang punya modal lebih besar. “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” yang menjadi dasar Sosialisme Perekonomian Indonesia
diselewengkan menjadi percepatan kemakmuran beberapa gelintir orang
untuk mewakili statistik bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Lebih jelasnya,
Bung Karno menyingkat Pancasila menjadi Trisila, seperti idolanya Dr.
Sun Yat Sen (dengan “San Min Chu I”-nya), yaitu Ketuhanan,
Sosio-Nasionalisme (“Kebangsaan” dan “Perikemanusiaan” atau “Persatuan
Indonesia” dan “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”), serta
Sosio-Demokrasi (“Demokrasi” yang menjadi sila ke empat “kerakyatan yang
dipimpin…” dan “Kesejahteraan” yang menjadi “Keadilan Sosial….”). Dan
pilihan terakhir,” Gotong Royong”, adalah istilah yang paling mudah
dimengerti, apa dan bagaimana sebenarnya jiwa dan falsafah bangsa
Indonesia; weltanschauung-nya Indonesia; coraknya bangsa Indonesia yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Itulah yang membuat persatuan
Indonesia, tanpa harus menjadi sebuah kesatuan politik; kesatuan
falsafah. Kita bersatu meskipun Indonesia berbeda. Kita menjadi sebuah
bangsa baru, Imagined Community, karena diatas perbedaan itu kita berjuang bersama, untuk tujuan yang sama.
Dan jika sekarang
ini ada orang, bangsa Indonesia, yang mengajukan Pancasila sebagai asas
tunggal dari apapun bentuk persatuan aspirasi politik, itu sama halnya
dengan memfitnah Pancasila. Bisa karena mereka tidak mengerti apa itu
Pancasila, bisa juga karena keinginan untuk menang sendiri; sangat
berlawanan dengan falsafah dan corak kegotongroyongan bangsa Indonesia.
Jelasnya, itu bukan aspirasi politik bangsa Indonesia; itu adalah
serangan ideologi dari luar Indonesia
sumber :Sebagai Paham & Alat Perjuangan Menuju Indonesia Yang Sosialis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar