Kaum Miskin Indonesia

Kaum Miskin Indonesia
Perjuangan kita tak akan sia-sia. Asalkan kita tahu dari mana kita berasal (diktum sokrates), dan kemana tujuan kita (aquinas), serta dimana kita akan berhenti (Honing A Bana).

Minggu, 09 September 2012

Analisis Sosial


                                               Kerangka Analisis Sosial


Kawan-kawan,



Jaman baru ini membawa analisis sosial juga menjadi
baru. Apanya yang baru? Coba baca tulisan Romo Herry Priyono, "Sesudah
Dekonstruksi Negara". Tulisan ini menarik, sederhana, namun mengenalkan
pisau berpikir Analisis Sosial yang benar-benar baru. Baru"nya adalah
demikian: di jaman lama, kriteria demokrasi dikenakan hanya pada negara - di
jaman baru, kriteria demokrasi itu (common good) dikenakan pada *semua* pihak.
Ya negara, ya militer, ya swasta, ya... dll. Jadi, inti kontradiksi dalam ansos
lama "akar masalah" itu ditujukan pada "mengontrol praktik
kekuasaan yang semena-mena" yang dilakukan oleh siapa saja.



Mengenai buntunya "pisau analisis sosial"
saat ini, maka terlampir (dalam folder ansos ini, Red.), materi-materi Analisis
Sosial yang --menurut hemat saya-- jauh lebih relevan.



Saat ini saya sendiri sedang merevisi ulang
pemahaman saya mengenai Ansos seperti yang ditawarkan Suryawasita ataupun
Banawiratma ataupun jenis-jenis seperti 5-Paradigma Organisasi yang menurut
saya deterministik. Entahlah, saya sendiri masih bergulat dengan ini. Saya
merasakan dulu ada yang "not quite right" dengan pendekatan itu dalam
berbagai pelatihan ansos yang saya lakukan, tetapi belum bisa merumuskannya.
Saya berterima kasih pada Romo Herry Priyono yang dalam 5-6 bulan terakhir ini
membantu saya keluar dari kebuntuan berpikir ini dengan kerangka teoretisnya
yang sangat tajam. Kini, saya kira saya sedikit banyak mulai bisa mengatasi
masalah itu.



Itu pula yang mendorong saya mengkompilasi semua
pemikiran itu dan meletakkannya dalam butir-butir ringkas sebagai berikut :



1. Pisau Ansos lama yang merujuk sistem negara
sebagai biang keladi ketidakadilan sosial, tidak cukup.



2. Kriteria demokratisasi (dan "common
good" yang lain) bukan hanya diterapkan untuk negara, tetapi juga untuk
segala bentuk praktek kekuasaan, oleh segala aktor.



3. Karena itu, lawan "civil society" itu
bukan "state"/negara, melainkan "praktik kekuasaan yang
semena-mena, tidak bertanggungjawab pada publik". Baik itu kekuasaan uang,
senjata, agama, dll, dll.



4. Kalau kita salah menempatkan kontradiksi ini,
maka kita akan terjebak untuk selalu mendekonstruksi negara. Padahal, negara
juga punya kekuasaan yang sah, legitimate, justru untuk melindungi hak-hak
warganya



5. Civil society mendapatkan makna baru: yaitu
sebagai sebuah matriks perimbangan antara 3 kekuatan: masyarakat, pasar dan
"public agency". Public agency ini bisa berupa negara, LSM,
paguyuban, dll yang melindungi kepentingan publik.



6. Dalam kerangka waktu saat ini, kekuatan yang
tumbuh menjadi mengerikan dalam hal kekuasaan dan seharusnya menjadi target
proses demokratisasi adalah sistem pasar*. Komunitas bisnis dengan agenda
neo-liberal-nya melindas dua kekuatan yang lain, yaitu masyarakat dan negara.



Karena itu, dalam konteks Indonesia, kita bisa lebih
mudah meletakkan dimana militer, orde baru, dll dengan pisau analisis ini.



Ada 9 (sembilan) bahan yang akan saya kirimkan.
Semuanya adalah tulisan Romo B.Herry Priyono yang mencoba membunyikan gagasan
sosial demokrasi dengan menempatkannya dalam konteks waktu dan kekinian.
Formasinya kira-kira sebagai berikut :



"Jalan Ketiga sebagai Utopia" adalah bahan
untuk 'meditasi', renungan mengenai faham sosial demokrasi baru.


"Strukturasi Kondisi Modernitas" adalah
kajian akademis dari teori strukturasi


"Demokrasi dan Kapitalisme" adalah sebuah
polemik.


"KKN bukan Sebuah Budaya" adalah sebuah
polemik.


"Bangsa sesudah Orde Baru" adalah sebuah
polemik


"Sesudah Dekonstruksi Negara" adalah
sebuah polemik


"Amademen Pasal Ekonomi" adalah sebuah
polemik


"Buruh" adalah sebuah advokasi


"Bangsa, Negara dan Rakyat" adalah sebuah
latar tentang nasionalisme.


“Gerhana Humaniora” Ini mengupas mengenai kaum
intelektual, sistem pendidikan dan bagaimana konteks "perjuangan"
diletakkan di dalamnya


Secara khusus, dalam training Ansos Uni Sosial
Demokrat di Solo nanti (Tawangmangu, 17-19 Agustus 2001, Red.) -atau juga
training rekan-rekan di organisasi masing-masing-usulan saya adalah :



(1) diberikan sebagai bacaan
pra-pelatihan. Selama pelatihan, digunakan sebagai bahan diskusi kelompok.
Dilanjutkan dengan (6) dan (7) yang memberikan pisau analisis sosial yang baru.
Sebaiknya dibahas di kelas, dalam sesi terpimpin, dilanjutkan dengan diskusi kelompok.
Studi kasusnya adalah (4), (5) dan (. Kalau mau ditambah, (3). Tapi ini bisa
dihilangkan kalau waktunya tidak cukup. Dalam studi kasus ini, ada baiknya
kasus-kasus mutakhir Nasional diangkat untuk dibahas, misalnya lengsernya Gus
Dur, polemik Megawati. Demikian juga dengan kasus lokal Solo: pergantian
walikota, pembangunan daerah, dll. Sehingga ada kontekstualisasi yang lebih
konkrit untuk menemukan kontradiksi yang lebih mendasar.



Tulisan (2) dan (9) adalah tentatif, untuk mereka
yang mau belajar lebih jauh lagi. Tulisan (10) mengupas mengenai kaum
intelektual, sistem pendidikan dan bagaimana konteks "perjuangan"
diletakkan di dalamnya. Hemat saya, tulisan ini bisa dijadikan bahan
"renungan pagi" setelah mandi, sebelum sarapan…





Demikian sumbang pikiran dari
saya.





Salam,


Honing Mcr



Tidak ada komentar: