Kaum Miskin Indonesia

Kaum Miskin Indonesia
Perjuangan kita tak akan sia-sia. Asalkan kita tahu dari mana kita berasal (diktum sokrates), dan kemana tujuan kita (aquinas), serta dimana kita akan berhenti (Honing A Bana).

Selasa, 18 September 2012

GAYA hidup mewah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, baik di jajaran eksekutif maupun legislatif, sudah waktunya untuk dikikis habis. Rakyat sudah muak. 

Apalagi kalau kemudian duit untuk bergaya hidup mewah itu justru dicopet dari pundi-pundi anggaran yang disumbangkan rakyat. Mereka bukan lagi muak, namun mungkin malah sudah marah.

Rakyat saat ini mendamba pemimpin yang bisa hidup sederhana dalam pengertian yang sewajarnya, apa adanya, bukan hidup sederhana yang dibalut dengan tujuan pencitraan. 

Rakyat mendamba sosok yang bisa menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya, dan juga orang-orang yang ada di bawahnya. Apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan selama ini, tingkah laku para pemimpin sama sekali tidak bisa dijadikan teladan yang baik untuk mencapai gaya hidup sederhana. 

Mungkin, ada satu dua pemimpin yang benar-benar bisa menjadi patron, namun kebanyakan hanya manis di lidah namun pahit di perbuatan.
Sebagai contoh, apa yang terjadi di parlemen, di mana bapak dan ibu yang menjadi wakil kita duduk manis di sana, dalam beberapa hari terakhir justru menjadi bahan cemoohan. 

Ketika rakyat berharap kehidupan mereka dibahas untuk dientaskan, para wakil kita di parlemen justru mempertontonkan sinetron penghamburan duit bermiliar-miliaran rupiah.

Badan Anggaran DPR selama ini menjadi muara terakhir dari alokasi anggaran untuk berbagai program pembangunan. Sejatinya, mereka yang duduk di Badan Anggaran adalah orang yang kritis dan punya empati terhadap kondisi rakyat pada  umumnya, sehingga anggaran yang dikucurkan benar-benar bisa mengentas kehidupan yang --maaf kata-- masih di bawah rata-rata negara tetangga, seperti Malaysia. Dengan demikian, setiap kegiatan pembangunan bisa tepat arah dan tepat sasaran.

 Namun, apa yang kita dengar dan saksikan? Untuk rapat saja, bapak dan ibu yang terhormat itu menempati ruangan yang berukuran 10x10 meter, yang dibangun dari duit rakyat sebesar Rp 20,3 miliar. Kursinya sampai harus diimpor dari Italia, menggunakan rancangan perusahaan ternama. 

Bisakah dibayangkan bagaimana rasanya duduk di ruang rapat senilai Rp 20 miliar? Mungkin, saking empuknya kursi yang mereka duduki, para wakil terhormat itu "sekali duduk lupa berdiri kembali". Pada kondisi seperti itu, apakah kita bisa berharap mereka akan memberi perhatian besar pada kondisi realistis rakyat pada umumnya? 

Apakah mereka bisa lebih objektif dan berempati pada persoalan-persoalan bangsa yang ada di tataran bawah? Jauh-jauh hari kita juga sudah membaca dan menyaksikan banyak anggota DPR yang datang ke kantor menggunakan mobil mewah, yang harganya sampai miliaran rupiah. 

Bambang Soesatyo, misalnya, yang selama ini getol menyuarakan pengusutan kasus Bank Century, menggunakan mobil Bentley seharga Rp 7 miliar. Anggota yang lain menggunakan mobil mewah yang harganya tidak terpaut jauh.

Ketika mata sudah buta, telinga sudah tuli, dan hati sudah bebal, apalagi yang bisa kita harapkan? Apakah orang-orang seperti itu yang kita harapkan membangun dan memperbaiki negeri ini, ketika mereka yang hedonis dan kapitalis itu justru yang perlu "diperbaiki"? 

Ketika gerakan moral sudah tak mempan lagi, maka kini saatnya  rakyat untuk bertindak secara nyata. Siapa yang akan menjadi pemimpin, siapa yang duduk di kursi parlemen, sepenuhnya ada di tangan rakyat. Karena itu, kita menunggu, pada Pemilu 2014 nanti, siapa yang akan dipilih duduk di parlemen? Siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin? (****)
Sumber : Tribun Pontianak

Tidak ada komentar: